Bahwa Pemohon dan Suami pemohon telah menikah secara agama di sebuah masjid dengan seorang penghulu yang sah. Mereka melangsungkan pernikahan sesuai dengan tata cara dan tradisi agama Islam, namun tidak melakukan pencatatan pernikahan mereka di Kantor Urusan Agama (KUA). Beberapa tahun setelah menikah, mereka memutuskan untuk bercerai. Saat mengajukan perceraian, Pemohon merasa dirugikan karena dia tidak memiliki dokumen pernikahan yang sah di mata hukum negara. Pemohon ingin menuntut hak-haknya sebagai istri, termasuk hak atas harta bersama dan hak waris, tetapi ia merasa bahwa status perkawinannya tidak diakui oleh negara. Suami pemohon berpendapat bahwa pernikahan mereka sah menurut agama, jadi pencatatan ke KUA tidaklah penting. Pemohon menanyakan apakah perkawinan menjadi tidak sah dengan tidak mencatatkan perkawinannya ke Kantor Urusan Agama (KUA)?
Jaksa Pengacara Negara (JPN) pada Kejaksaan Negeri Solok Selatan berpendapat, Bahwa pencatatan yang dilakukan atas suatu perkawinan tidak menjadi syarat sah suatu perkawinan, sehingga dengan tidak dicatatkannya perkawinan tidak mempengaruhi keabsahan perkawinan. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 46/PUU-VIII/2010 yang mengatakan bahwa pencatatan perkawinan. Adapun materi pokok dalam putusan tersebut berisi pembahasan untuk membuktikan bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan mengenai hubungan perdata anak di luar perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang diartikan menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yaitu dalam hal ini seorang ayah. Selanjutnya dalam putusan MK tersebut dikatakan juga bahwa pencatatan hanya menjadi kewajiban administrative yang membuktikan terjadinya perkawinan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Terlebih lagi, putusan tersebut menegaskan bahwa makna pentingnya kewajiban administratif yang dimaksud adalah agar negara dapat memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia yang bersangkutan sesuai dengan prinsip negara hukum demokratis.