assalamualaikum, izin bapak dan ibu saya ingin bertanyak Apakah rekaman telepon bisa dijadikan sebagai alat bukti perdata? Kalau bisa, masuk ke dalam alat bukti apa? Bagaimana ketentuan alat bukti dalam UU ITE terbaru/UU ITE 2024?
waalaikumsalam, izinkan saya menjawab pertanyaan bapak atau ibu ya. terlebih dahulu kami sampaikan tentang alat bukti dalam hukum acara perdata. Hukum acara perdata sendiri mengenal 5 macam alat bukti yang sah sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR, dan Pasal 284 RBg, yaitu: Bukti Tertulis (Surat atau Akta)
Mengenai alat bukti tertulis, Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia (hal.141) membedakan definisi surat dan akta. Surat adalah sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah pikiran yang dimiliki seseorang, dimana buah pikiran tersebut dapat dipergunakan sebagai suatu pembuktian. Sedangkan akta adalah tulisan yang diberikan tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi sebagai dasar daripada suatu hak atau perikatan yang sejak awal dibuat untuk suatu pembuktian. Adapun akta terbagi lagi menjadi 2 jenis yaitu:
Masih bersumber dari buku yang sama, menurut Sudikno Mertokusumo (hal. 112), kesaksian merupakan suatu kepastian yang diberikan kepada para hakim saat persidangan, terkait peristiwa yang disengketakan dengan memberitahukan secara lisan dan pribadi oleh orang yang tidak termasuk dalam pihak yang berperkara di persidangan.
Kemudian, semua orang yang cakap menjadi saksi wajib memberikan kesaksian di muka hakim. Adapun berbagai pihak yang dilarang untuk menjadi saksi menurut Pasal 1910 dan Pasal 1912 KUH Perdata adalah:
Pasal 1915 KUH Perdata menjelaskan bahwa persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum. Lalu, persangkaan terbagi atas persangkaan berdasarkan undang-undang dan persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang.
Persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang, diterangkan dalam Pasal 173 HIR. Secara sederhana, persangkaan ini adalah kesimpulan-kesimpulan yang diambil oleh hakim dari suatu kejadian atau keadaan yang telah terbukti, sehingga dapat menjelaskan suatu kejadian atau keadaan yang tidak terbukti. Sedangkan persangkaan berdasarkan undang-undang diatur dalam Pasal 1916 KUH Perdata, yang menerangkan bahwa persangkaan ini adalah persangkaan yang dihubungkan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu berdasarkan ketentuan undang-undang.
Alat bukti pengakuan diatur dalam Pasal 174, 175, dan 176 HIR. Dalam Pasal 174 HIR dan penjelasannya, diterangkan bahwa pengakuan dapat diklasifikasikan atas pengakuan di muka hakim dan pengakuan di luar sidang (Pasal 175). Sedangkan dalam dalam Pasal 176 HIR, diterangkan bahwa setiap pengakuan harus diterima seluruhnya dan hakim tidak boleh menerima sebagian atau menolak sebagian pengakuan yang bisa merugikan orang yang mengaku itu, kecuali orang yang berutang itu dengan maksud akan membebaskan dirinya, menyebutkan perkara yang terbukti bahwa perbuatan atau kejadian tersebut adalah palsu.
Sementara pengakuan sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata diatur dalam Pasal 1926 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa suatu pengakuan yang diberikan di hadapan Hakim tidak dapat dicabut kecuali bila dibuktikan bahwa pengakuan itu diberikan akibat suatu kekeliruan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dengan alasan terselubung yang didasarkan atas kekeliruan-kekeliruan dalam menerapkan hukum, pengakuan tidak dapat dicabut.
Berdasarkan Pasal 1929 KUH Perdata, sumpah dapat dikategorikan menjadi 2 macam antara lain:
Sebagai informasi, terkait alat-alat bukti di atas, M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata (hal. 623) menjelaskan bahwa tidak selamanya sengketa perdata dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan atau akta. Dalam kenyataan bisa terjadi sama sekali penggugat tidak memiliki alat bukti tulisan untuk membuktikan dalil gugatan. Dalam peristiwa yang demikian, jalan keluar yang dapat ditempuh penggugat untuk membuktikan dalil gugatannya ialah dengan jalan menghadirkan saksi-saksi yang kebetulan melihat, mengalami, atau mendengar sendiri kejadian yang diperkarakan.
Selanjutnya, mengenai apakah rekaman telepon dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara perdata, kita perlu merujuk pada ketentuan Pasal 5 UU 1/2024 tentang perubahan kedua atas UU ITE yang berbunyi:
Selanjutnya, Penjelasan Pasal 5 Ayat (1) UU 1/2024 menerangkan bahwa keberadaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui sistem elektronik. Lalu, khusus untuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.[5]
Dari bunyi pasal-pasal di atas, penting untuk diketahui bahwa informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, Electronic Data Interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[6]
Sementara dokumen elektronik adalah adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[7]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik berupa rekaman suara atau rekaman telepon sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU 1/2024 adalah alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti sesuai dengan hukum acara perdata.
Namun demikian, berdasarkan putusan MK tentang alat bukti elektronik yaitu Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa frasa informasi elektronik dan dokumen elektronik tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya (hal. 98).
Jadi, untuk menjadi alat bukti yang sah, dokumen elektronik berupa isi rekaman telepon tersebut harus atas permintaan penegak hukum.
demikian yang dapat saya sampaikan semoga bermanfaat.
Bagaimana cara menuntut pengembalian