saya sudah menikah dengan istri saya puluhan tahun dan saya tidak memiliki anak ,setahun belakangan ini istri saya sudah tidak tinggal bersama karena saya sudah sakit sakitan dan istri juga tidak mau merawat saya, dikarenakan saya tidak memiliki anak maka keponakan (anak kakak Saya) yang merawat saya, selama pernikahan saya sudah memiliki sebidang tanah bersertifikat namun tidak ada kontribusi dari istri saya terhadap tanah yang saya miliki tersebut, karena sebagai bentuk terima kasih saya kepada keponakan saya, saya ingin membuat surat wasiat untuk memberikan sebidang tanah yang saya miliki kepada keponakan saya tanpa sepengetahuan istri saya, apakah bisa pak? seandainya bisa langkah apa yang harus saya lakukan pak?
Pada dasarnya harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan sebagaimana dikatakan dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan).
Terlepas dari apakah harta benda tersebut diperoleh oleh si suami saja (karena istri tidak bekerja) atau diperoleh oleh keduanya, selama harta benda tersebut diperoleh dalam perkawinan, maka harta tersebut adalah harta bersama. Dengan pengecualian bahwa jika harta benda tersebut diperoleh oleh masing-masing suami atau istri sebagai hadiah atau warisan, maka harta tersebut adalah harta bawaan yang berada di bawah penguasaan masing-masing selama para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan).
Atas harta bersama, suami atau istri hanya dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut dengan persetujuan dari pasangannya (Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan).
Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan:
Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
Ini berarti dalam hal suami ingin menghibahkan harta bersama kepada keponakannya, suami harus mendapatkan izin dari istrinya.
Jika tidak ada izin atau persetujuan dari istrinya atas hibah tersebut, maka hibah tersebut batal. Ini karena tidak adanya kewenangan dalam memberikan hibah tersebut. Elly Erawati dan Herlien Budiono dalam bukunya yang berjudul Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian (hal. 12-13), mengatakan bahwa ketidakcakapan seseorang untuk melakukan tindakan hukum harus dibedakan dengan ketidakwenangan seseorang untuk melakukan tindakan hukum. Mereka yang tidak berwenang melakukan tindakan hukum adalah orang-orang yang dilarang melakukan tindakan hukum tertentu. Jadi seseorang yang oleh undang-undang dikualifikasi sebagai tidak berwenang melakukan tindakan hukum tertentu, tidak berarti bahwa ia tidak cakap.
Selanjutnya dijelaskan bahwa perjanjian yang dilakukan oleh orang atau pihak yang menurut undang-undang dinyatakan tidak berwenang, berakibat batal demi hukum. Dapat pula terjadi seseorang dinyatakan tidak wenang melakukan perbuatan hukum tertentu karena menurut undang-undang, orang tersebut tidak memenuhi kualifikasi atau persyaratan tertentu.
Dalam hal ini, suami tidak berwenang melakukan tindakan hukum atas harta bersama tersebut karena tidak memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan yaitu harus mendapatkan persetujuan dari istrinya. Hibah yang merupakan perjanjian, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), menjadi batal demi hukum karena yang memberikan hibah adalah orang yang tidak berwenang.
Pasal 1666 KUHPer
Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.
Jadi hibah si suami kepada keponakannya atas harta bersama, jika tanpa persetujuan dari istrinya menjadi batal demi hukum.
Tanah milik Abdul Hari seluas 4 hekta