Kartu kredit adalah alat pembayaran menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembayaran dan/atau untuk melakukan penarikan tunai, dimana kewajiban pembayaran kartu kredit dipenuhi terlebih dahulu oleh penyedia jasa pembayaran (PJP) yang menyelenggarakan aktivitas payment initiation dan/atau acquiring services atau PJP yang menyelenggarakan penatausahaan sumber dana, dan pengguna kartu kredit berkewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan secara sekaligus ataupun dengan pembayaran secara angsuran.
Berdasarkan pengertian di atas, maka tagihan kartu kredit merupakan utang atau kewajiban dari pemegang kartu kredit dan harus dibayarkan kepada bank atau PJP. Lantas, haruskah utang tersebut dilunasi oleh ahli waris dari pemegang kartu kredit?
Di dalam Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata disebutkan bahwa:
Sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang si yang meninggal.
Lebih lanjut, menurut KUH Perdata tersebut, harta peninggalan (harta warisan) dari seseorang yang meninggal dunia meliputi aktiva dan pasiva, artinya baik utang maupun juga piutang diwariskan juga kepada para ahli waris.
Hal ini juga dijelaskan oleh J. Satrio dalam buku Hukum Waris (hal. 8) bahwa warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada ahli waris.
Namun demikian, berdasarkan Pasal 1045 KUH Perdata, ditegaskan bahwa tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya. Hal ini berkaitan dengan hak untuk berpikir bagi ahli waris sebagaimana diatur dalam Pasal 1023 KUH Perdata.
Seorang ahli waris dapat memilih sikap terhadap harta peninggalan atau warisan, yaitu apakah akan menerima secara murni, menerima dengan catatan, atau menolak warisan. Apabila seorang ahli waris menerima secara murni maka berakibat ia akan bertanggung gugat atas utang dari pewaris meskipun harta warisan yang diterimanya tidak mencukupi.
Selanjutnya, apabila seseorang menerima warisan dengan catatan, maka ia turut bertanggung gugat sebatas harta warisan yang diterimanya. Namun, jika seorang ahli waris menolak warisan, maka ia bukanlah ahli waris dan penolakan ini harus dinyatakan secara tegas di kepaniteraan Pengadilan Negeri. Hal ini sesuai dengan Pasal 1057-1058 KUH Perdata.
Apabila seseorang telah bersedia menerima warisan, maka ia diwajibkan dalam hal pembayaran utang, hibah wasiat, dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan.
Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, maka tagihan kartu kredit juga diwariskan kepada ahli warisnya (anak/cucu), dan masing-masing ahli waris berkewajiban untuk membayar sesuai dengan bagian yang diterima dalam pewarisan, kecuali jika ahli waris menolak warisan dari pewaris.
Adapun, bagi pewaris dan ahli waris yang beragama Islam, maka berlaku ketentuan dalam Pasal 171 huruf e KHI yang menyatakan bahwa harta warisan adalah harta bawaan ditambah harta bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggal, biaya pengurusan jenazah, pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat. Artinya, pemenuhan kewajiban pewaris atas pembayaran utang, yang dalam hal ini adalah tagihan kartu kredit, didahulukan sebelum harta warisan dibagikan kepada para ahli warisnya.
Tanah milik Abdul Hari seluas 4 hekta