Saya membeli tanah seluas 900 m2 dengan harga Rp.400 juta dari penjual pada bulan juli 2023 dan setelah satu tahun kemudian penjual meninggal dunia. Dalam penjualan tanah
tersebut pemohon tidak mendapatkan sertifikat tanah dari penjual dan surat
perjanjian dalam penjualan tanah tersebut. Namun terdapat akta jual beli dan saksi
dalam penjualan tanah tersebut akan tetapi saksi dalam hal ini meninggal dunia. Seiring berjalannya waktu pemohon tidak menanyakan terkait sertifikat tanah
tersebut dan diatas sebidang tanah tersebut dibangun sebuah rumah oleh
pemohon. Bahwa ternyata sebidang tanah tersebut, sertifikat tanah telah dialihkan
balik nama anak dari penjual yaitu Sinta sendiri. Akhirnya tanah dan bangunan
tersebut diminta oleh anak penjual tersebut pada bulan maret 2024, padahal
pemohon sudah membeli sebidang tanah tersebut kepada penjual. Oleh karena itu,
bagaimana yang harus dilakukan oleh saya lakukan untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut?
Terima Kasih telah bertanya kepada Tim JPN Kejaksaan Negeri Boyolali. Sehubungan dengan Pertanyaan dari Pemohon, bersama ini kami sampaikan penjelasan atau tanggapan atas permohonan dimaksud.
Terkait dengan pertanyaan tersebut bahwa yang dilakukan oleh anak penjual adalah penyerobotan tanah. Walaupun tanah tersebut belum bersertifikat atas nama pemohon tetapi tanah tersebut sudah menjadi milik pemohon secara tidak langsung. Karena pemohon sudah membayar sebidang tanah tersebut dan juga terdapat saksi dalam penjualan tersebut dan akta jual beli. Maka yang dapat dilakukan oleh pemohon adalah membuktikan akta jual beli tersebut menjadi syarat sahnya perjanjian dan bukti pembayaran atas pembelian tanah tersebut. Dijelaskan juga bahwa Akta jual beli yang ada juga harus patuh pada syarat sahnya suatu perjanjian yang harus memenuhi ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa supaya terjadi perjanjian yang sah yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, cakap untuk membuat suatu perjanjian, mengenai suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Namun dalam hal ini akta jual beli saja tidak cukup harus ditingkatkan menuju sertifikat hak milik. Sebagaimana juga dijelaskan dalam pasal 32 pada Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 bahwa “ Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan”, berdasarkan penjelasan tersebut jika ingin membuktikan bahwa tanah tersebut sudah menjadi milik pemohon adalah kepemilikan sertifikat hak milik. Sehingga dengan tidak adanya sertifikat tanah atas nama pemohon menjadikan tidak sempurna kepemilikan pemohon atas tanah tersebut. Disisi lain pihak anak penjual terkait proses balik nama sertifikat juga terdapat kecacatan hukum karena adanya kesalahan administrasi terhadap proses pengalihan nama sertifikat.
Dalam Peraturan Mentri Agraria Nomor 9 Tahun 1999 bahwa jika merasa dirugikan atas penerbitan sertifikat hak milik dan adanya kecacatan hukum dapat mengajukan pembatalan hak atas tanah. Sehingga dapat diketahui bahwa pemohon tidak menguasai secara fisik tanah tersebut sehingga perlu adanya pembuktian yang kuat untuk menyatakan kepemilikan tanah tersebut. Oleh karena itu upaya yang dapat dilakukan untuk mencari jalan keluar yaitu dengan cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama guna menyelesaikan permasalahan yang ada, dimana pihak anak penjual harus membalikan atas nama pemohon sertifikat tersebut. Apabila dalam menempuh jalan musyawarah tidak membuahkan hasil maka pemohon dapat melakukan somasi (surat peringatan) kepada anak penjual untuk melakukan pembatalan hak atas tanah. Namun diharapkan permasalahan dapat dilakukan dengan cara musyawarah agar damai antara kedua pihak.
Semoga jawaban kami dapat menjawab permasalahan yang Saudara alami. Demikian penjelasan kami dari tim JPN Kejaksaan Negeri Boyolali dan mohon maaf atas segala kekurangannya.
Bagaimana cara menuntut pengembalian