dengan demikian, adapaun yang ingin saya tanyakan adalah :
Bahwa Tim Jaksa Pengacara Negara menjelaskan secara normatif yuridis sebagai berikut:
Tindak pidana penipuan adalah perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Penipuan dapat dilakukan dengan menggunakan tipu muslihat, nama palsu, kedudukan palsu, atau kebohongan.
Tindak Pidana Penipuan telah diatur dalam Pasal 378 KUHP dengan bunyi “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun”.
Bahwa dalam kasus yang dialami oleh sdr Atika Wahidi, dalam proses penyelidikan atas laporan yang oleh para konsumen kepada sdr Atika Wahidi, sdr Atika Wahidi harus dapat memberikan keterangan dan bukti-bukti kuat bahwa bukan dirinya lah yang melakukan penipuan tersebut dengan syarat bahwa sdr Atika Wahidi benar-benar tidak mendapatkan keuntungan sepeser pun atas tindak penipuan yang telah dilakukan oleh sdr X karena jika sdr Atika Wahidi sempat mendapatkan keuntungan, maka sdr Atika Wahidi dapat memiliki peluang ditetapkan menjadi tersangak meskipun telah terbukti bahwa sdr X adalah tersangka utama, dengan sangkaan atas pidan penyertaan yang diatur pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang berbunyi “pelaku tindak pidana kejahatan adalah orang yang melakukan (pleger), menyuruh melakukan (doenplegen), dan turut serta melakukan (medepleger)”.
Apabila sudah terbukti bahwa sdr Atika Wahidi tidak ikut andil dalam tindak pidana penipuan ini, sdr Atika Wahidi dapat melaporkan kembali sdr X ke Kepolisian atas dasar Tindak Pidana Penipuan (Pasal 378 KUHP) dengan unsur Pasal yang dapat dipenuhi yaitu :
Unsur Barang Siapa adalah subjek hukum yang melakukan perbuatan yang kepadanya dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana atas kesalahan yang dilakukannya dalam upaya pembuktian. Bahwa dalam permasalahan ini sdr X mampu bertanggungjawab dan dari diri tersangka tidak ada ditemukan alasan pembenar maupun pemaaf yang sifatnya dapat menghapuskan perbuatan pidana yang dilakukannya dan segala indentitasnya dan tersangka merupakan orang yang keadaan sehat jasmani dan rohani sehingga dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya;
Bahwa unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain, Tersangka melakukan perbuatan tersebut memang harus dengan tujuan hendak menguntungkan dirinya atau orang lain dari penipuan yang dilakukannya tersebut. Unsur secara melawan hukum atau Wederrechtelijk menurut Prof. DR. Wirjono Prodjodikoro, SH, yaitu si pelaku harus tidak mempunyai hak. Yang mana dalam permasalahan ini, sdr X telah menguntungkan dirinya sendiri dengan cara melakukan penipuan;
Bahwa tindakan yang dilakukan oleh tersangka dan tujuan tersangka melakukan tindakan tersebut. Tindakan tersangka yang memenuhi rumusan unsur pasal ini adalah bahwa penipuan yang dilakukan oleh terdakwa dilakukan dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan perkataan perkataan bohong dan tujuan terdakwa melakukan hal tersebut adalah agar korbannya menyerahkan suatu barang. Yang dalam hal ini sdr X telah melakukan serangkaian kebohongan dengan tidak memberikan hak sembako kepada para konsumen yang telah membayar dengan berusaha menggerakan sdr Atika Wahidi untuk melakukan sesuai perintahnya.
Sedangkan penipuan dalam konteks Hukum Perdata tidak didefinisikan dengan jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), namun dapat kita temukan pengaturannya dalam Pasal 1328 KUH Perdata, yang sesuai terjemahan Prof. R Subekti, S.H., dan R. Tjitrosudibio, halaman 340, berbunyi sebagai berikut:
Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat, yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian (hal. 24) menjelaskan bahwa penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Pihak yang menipu tersebut bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Misalnya mobil yang ditawarkan diganti dulu mereknya, dipalsukan nomor mesinnya, dan sebagainya.
Lebih lanjut, Subekti juga menambahkan bahwa menurut yurisprudensi, tidak cukup orang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, melainkan harus ada rangkaian kebohongan atau suatu perbuatan yang dinamakan tipu muslihat.
Bahwa Tim Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Negeri Bangka dalam hal ini berkesimpulan bahwa:
Bagaimana cara menuntut pengembalian