Apakah setiap perjanjian yang sudah disepakati oleh para pihak itu tetap berkekuatan mengikat, sekalipun salah satu pihak telah melakukan iktikad buruk atau punya niat buruk?
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Subekti menjelaskan iktikad baik pada saat pembuatan perjanjian berarti kejujuran orang yang beriktikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lawan, yang dianggapnya jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang buruk yang di kemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan.
Dalam perkembangannya, prinsip iktikad baik tidak hanya diterapkan pada tahap pelaksanaan perjanjian, melainkan juga dalam seluruh fase atau tahapan kontrak sebagai suatu proses yaitu mulai tahap prakontraktual (negosiasi/perundingan), tahap kontraktual (pembentukan/formation of contract), hingga tahap pascakontraktual (pelaksanaan perjanjian).
Pada tahap prakontrak, pada dasarnya perjanjian belum lahir sehingga para pihak belum terikat perjanjian. Oleh karena itu, jika terdapat iktikad buruk pada tahap prakontrak, maka tidak dapat dinyatakan adanya wanprestasi.
Namun, apabila terdapat iktikad buruk yang membawa kerugian pada tahap prakontrak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan upaya pemulihan hak yang didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melanggar hukum; tentunya apabila unsur-unsur perbuatan melanggar hukum terpenuhi. Pihak yang dirugikan juga harus dapat membuktikan bahwa kerugian yang timbul adalah akibat dari adanya perbuatan dari pihak lawan tersebut.
Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, terdapat empat syarat sahnya suatu perjanjian, yakni kesepakatan, kecakapan, suatu hal tertentu, dan sebab (causa) yang diperbolehkan.
Adapun syarat kesepakatan dan kecakapan merupakan syarat subjektif, sedangkan syarat suatu hal tertentu dan sebab yang diperbolehkan merupakan syarat objektif. Pada tahap pembentukan perjanjian, syarat-syarat tersebut haruslah dipenuhi.
Lebih lanjut, akibat hukum jika syarat subjektif tidak terpenuhi adalah perjanjian dapat dibatalkan. Sementara, jika perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian batal demi hukum.
Dengan terpenuhinya syarat perjanjian, maka perjanjian mengikat para pihak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Apabila terdapat iktikad buruk pada tahap pembentukan perjanjian, misalnya penipuan (bedrog), paksaan (dwang), atau kekhilafan (dwaling), atau penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) dalam kesepakatan yang dibuat, maka perjanjian yang dimaksud akan menjadi dapat dibatalkan (voidable/vernietigbaar).
Upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan pembatalan perjanjian karena tidak dipenuhinya syarat subjektif perjanjian. Dengan pembatalan perjanjian, maka kedua belah pihak akan dibawa kembali pada keadaan sebelum perjanjian dibuat.
Adapun pihak yang beriktikad buruk pada tahap pelaksanaan kontrak dapat diartikan pihak tersebut melakukan wanprestasi.
Bentuk-bentuk wanprestasi menurut Subekti yaitu:
Akibat wanprestasi yang dilakukan, maka sebagaimana diatur dalam Pasal 1267 KUH Perdata, pihak kreditur dapat memilih untuk memaksa debitur memenuhi perjanjian jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pemutusan perjanjian, dengan disertai penggantian biaya, rugi, dan bunga.
Dengan demikian, untuk menjawab pertanyaan Anda, maka perlu ditelusuri kembali, iktikad buruk yang Anda maksud berada pada tahap perjanjian yang mana. Sehingga dapat ditentukan apa akibat hukumnya terhadap perjanjian dan upaya hukum apa yang dapat dilakukan oleh pihak yang dirugikan.
Bagaimana cara menuntut pengembalian