Supported by PT. Telkom Indonesia
Senin, 23 Des 2024
Quality | Integrity | No Fees
2024-09-05 05:55:12
Hutang Piutang
HUTANG BERSAMA SUAMI DAN ISTRI

Sebelumnya saya menikah pada tahun 2021 dan kemudian telah bercerai dengan istri saya pada tahun 2024 akan tetapi ketika kami menikah, kami memiliki hutang bersama,  kepada siapa hutang tersebut dipertanggungjawabkan ? 

Dijawab tanggal 2024-09-11 19:01:14+07

Terimakasih atas pertanyaan yang diajukan Pemohon dan kepercayaannya kepada pelayanan hukum HALOJPN.

Dasar hukum :

Terjadinya hutang dalam perkawinan tidak lepas dari adanya usaha untuk pemenuhan harta dan kebutuhan dalam perkawinan, sehingga menjadi suatu persoalan ketika hutang tersebut lalai dalam penyelesaiaannya. Selain itu menurut Roostanty S.H., M.kn selaku Notaris lingkup kerja Sragen, perkawinan erat hubungannya dengan harta dan hutang dikarenakan kehidupan suatu rumah tangga secara langsung bersentuhan dengan penghasilan dan pengeluaran yang sering menjadi sumber permasalahan kedudukannya.

Hutang dalam perkawinan yang membebani harta persatuan dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu : 

  1. Adanya hutang sebelum perkawinan. Dalam hal ini terkait dengan Pasal 35 ayat (2) UUP, bahwa harta yang dimiliki masing-masing suami dan istri sebelum perkawinan, adalah menjadi harta milik pribadi masing-masing pihak. Apabila adanya hutang baik suami atau istri yang dilakukan sebelum perkawinan dan dibawa ke dalam perkawinan yang telah berlangsung, maka masing-masing pihaklah yang bertanggung jawab melunasinya; 
  2. Hutang untuk keperluan rumah tangga. Hutang ini diperuntukan untuk pengeluaran sandang, papan, pangan yang dilakukan suami maupun istri dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga; 
  3. Terdapat pengeluaran hutang-hutang untuk kepentingan usaha; 
  4. Melakukan ganti rugi karena salah satu pihak melakukan perbuatan melawan hukum; 
  5. Adanya denda-denda;
  6. Adanya hutang warisan/hibah yang masuk ke dalam persatuan.

Dalam persatuan harta terdapat aktiva dan pasiva di dalamnya. Tidak adanya perjanjian kawin dalam perkawinan menurut Roostanty S.H.,M.Kn selaku Notaris lingkup kerja Sragen, secara otomatis terjadi persatuan untung dan rugi. Selain itu juga disebutkan dalam Pasal 120 KUHPerdata, percampuran harta benda tidak hanya terdiri dari barang-barang harta kekayaan (aktiva), melainkan juga terdiri dari beban-beban dan hutang-hutang atau pasiva yang artinya jika selama perkawinan diperoleh harta benda dalam jumlah tertentu maka hal itu menjadi kekayaan (aktiva) rumah tangga, sedangkan jika terjadi hutang selama perkawinan, maka hutang-hutang tersebut menjadi beban hutang rumah tangga. Terhadap jenis hutang sendiri menurut Prof. Subekti, S.H. yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata Halaman 34 hutang dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu hutang pribadi dan juga hutang bersama. 

Hutang bersama atau persatuan menyangkut kepada semua hutang atau pengeluaran yang dibuat baik suami maupun istri untuk keperluan bersama kehidupan keluarga mereka, seperti hutang untuk pembelian rumah, kendaraan, dan juga pendidikan. Terhadap hutang-hutang bersama setelah dihapusnya persatuan, Pasal 130 KUHPerdata menentukan bahwa setelah bubarnya persatuan, suami boleh karena hutang-hutang persatuan seluruhnya, dan yang demikian itu tak akan mengurangi hak suami untuk menuntut kembali setengah bagian dari hutang-hutang itu kepada istri, atau kepada para ahli warisnya. Suami bertanggung jawab sepenuhnya bagi pelunasan hutang-hutang bersama yang dibuat oleh pihak istri, yang dikecualikan dari pertanggungjawaban tersebut ialah hal pelunasan hutang-hutang yang dibuat sebelum perkawinan oleh si istri, pertanggungjawaban berakhir dengan dilaksanakannya pembagian dan pemisahan harta campuran. Istri bertanggung jawab hanya untuk separuh bagian dari hutang bersama yang dibuat oleh pihak suami akan tetapi bertanggung jawab penuh untuk hutang bersama yang dibuat olehnya sendiri dalam perkawinan. Setelah diadakan pembagian, pihak lain tidak lagi dapat dituntut terhadap hutang yang dibuat pihak lain sebelum perkawinan. Pertanggungjawaban suami istri yang disinggung di atas merupakan pertanggungjawaban terhadap pihak ketiga yang disebut dengan istilah obligation bagi pelunasan hutang-hutang bersama yang dibuat masing-masing baik yang dibuat sebelum maupun yang dibuat selama berlangsungnya perkawinan. Peraturan mengenai pengurusan dan pertanggungjawaban terhadap hutang-hutang yang lahir dari kedua belah pihak, baik sebelum perkawinan maupun selama perkawinan berlangsung tidak diatur dalam UU Perkawinan, demikian pula tidak ada pasal-pasal yang khusus mengatur mengenai tanggung jawab atas hutang bersama maupun pribadi. Dalam Pasal 37 UU Perkawinan jelas dikatakan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama di atur menurut hukumnya masing-masing, bahwa yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat ataupun hukum lainnya. UU Perkawinan masalah tanggung jawab suami istri harus dibedakan juga ke dalam tanggung jawab intern (antara suami dan istri) dan tanggung jawab extern (terhadap pihak ketiga). Dalam tanggung jawab ke dalam atau intern merupakan pembagian beban tanggungan antara suami istri sendiri. Dalam hal ini masing-masing suami istri bertanggung jawab sendiri atas hutang-hutang pribadinya. Karena harta bersama isinya merupakan hasil usaha dan pendapatan suami dan istri sepanjang perkawinan termasuk harta bersama suami dan istri dan keduanya mempunyai wewenang untuk mengikatnya pada pihak ketiga, maka atas hutang bersama layaklah kalau suami dan istri masing-masing memikul setengah dari pengeluaran/hutang bersama. Berbeda dengan tanggung jawab keluar atau ekstern yang adalah atas hutang pribadi yang disebutkan dalam Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan, maka masing-masing suami istri, baik hutang pribadi sebelum maupun sepanjang perkawinan menjadi tanggung jawab harta pribadinya. 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam UU Perkawinan dan KUHPerdata memberi penjelasan bahwa hutang bersama atau hutang persatuan dalam pertanggungjawabannya adalah secara bersama-sama antara suami istri tersebut dan tidak mengurangi hak suami untuk menuntut kembali setengah bagian dari hutang-hutang itu kepada istri, atau kepada para ahli warisnya. Suami bertanggung jawab sepenuhnya bagi pelunasan hutang-hutang bersama yang dibuat oleh pihak istri, yang dikecualikan dari pertanggungjawaban tersebut ialah hal pelunasan hutang- hutang yang dibuat sebelum perkawinan oleh si istri, pertanggungjawaban mana berakhir dengan dilaksanakannya pembagian dan pemisahan harta campuran. Namun hal ini dibatasi perbedaan yang dianut oleh UU Perkawinan yaitu adanya pemisahan pada harta pribadi. UU Perkawinan melindungi harta pribadi masing-masing suami istri, sehingga tidak perlu melakukan pemisahan dalam perjanjian perkawinan. Harta pribadi dalam UU Perkawinan tidak bisa menanggung beban persatuan. Berbeda dengan KUHPerdata yaitu hutang pribadi dapat dibebankan juga pada persatuan harta, jika harta pribadi tidak mencukupi untuk pelunasannya. Maka baik istri maupun suami dapat dituntut untuk membayar separuh dari hutang yang dibuat oleh suaminya.

Jika anda kurang puas dengan jawaban ini, silakan berkonsultasi lebih lanjut dengan Jaksa Pengacara Negara pada
KN. SORONG
Alamat : Kantor Jaksa Pengacara Negara di Kejaksaan Negeri Sorong, Jalan Jenderal Sudirman No. 71, Malawei, Kecamatan Sorong Manoi, Kota Sorong, Papua Barat 98412
Kontak : 81344481314

Cari

Terbaru

Hutang Piutang
Hutang Orang Tua

Ayah saya dulu meminjam uang ke bank

Hukum Waris
Tanah Warisan Tidak Bersertifikat

Kami memiliki sebidang tanah yang ber

Hutang Piutang
Apakah pesan WhatsApp bisa dijadikan bukti perjanjian utang piutang?

Bagaimana cara menuntut pengembalian

Hutang Piutang
Teman Saya Meminjam Uang Pakai Nama Saya

Halo Bapak/Ibu saya ingin bertanya.

Hubungi kami

Email us to [email protected]

Alamat

Jl. Sultan Hasanuddin No.1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan - Indonesia
© 2024 Kejaksaan Republik Indonesia.