Mohon izin untuk bertanya, terkait bagaimana jika dalam akta perjanjian jual beli tanah terdapat banyak salah ketik? Sementara para pihak tidak mengetahui tentang renvoi. Kemduian apakah ada alibat hukum atau sanksi bagi notaris yang ceroboh dalam menerbitkan akta seperti hal demikian, Terima kasih banyak atas jawabannya.
Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Notaris berwenang untuk membuat akta autentik, kecuali jika ada pejabat lain yang ditugaskan untuk membuat akta tersebut, maka notaris tidak berwenang membuatnya. Adapun, terkait kewenangan membuat akta perjanjian jual beli tanah atau akta jual beli (“AJB”) tanah, bukanlah wewenang notaris melainkan PPAT. Dasar hukumnya adalah Pasal 1 angka 1 PP 24/2016 yang berbunyi, “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”.
Selanjutnya, tugas pokok dan kewenangan PPAT dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) PP 37/1998 sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (1), PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Pasal 3 ayat (1), untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.
Sedangkan prosedur dan sanksi jika ada salah ketik dalam AJB yang dibuat oleh PPAT adalah, perlu dipahami bahwa pada dasarnya PPAT dituntut untuk cermat dan berhati-hati ketika membuat akta. Dahulu sebelum Perka BPN 8/2012 berlaku, akta jual beli menggunakan blangko yang disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional (“BPN”). Namun, sejak berlakunya Perka BPN 8/2012, blangko akta PPAT tidak lagi wajib digunakan. Sehingga, PPAT boleh tidak menggunakan blangko yang tersedia di BPN, melainkan dengan akta yang dibuat sendiri oleh PPAT dan mengacu pada Lampiran III Permen ATR/BPN 3/1997. Sehingga tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan ketik dalam pembuatan AJB tanah. Jika terjadi kesalahan ketik di dalam akta jual beli tanah yang dibuat oleh PPAT, maka dilakukan pembetulan terhadap kesalahan ketik tersebut atau disebut dengan renvoi. Sayangnya, pengaturan mengenai renvoi tidak ditemukan secara spesifik di dalam peraturan perundang-undangan.
Meski demikian, dalam praktiknya, PPAT melakukan renvoi dengan prosedur yang sama dengan renvoi pada akta notaris yang diatur dalam pasal-pasal UU Jabatan Notaris dan perubahannya sebagai berikut:
a. Perubahan isi akta berupa penggantian, penambahan, pencoretan, dan/atau penyisipan dapat dilakukan dan sah jika perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan notaris (dalam hal ini PPAT);
b. Setiap perubahan atas akta dibuat di sisi kiri akta. Jika tidak bisa, perubahan tersebut dibuat pada akhir akta, sebelum penutup akta, dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan;
c. Jika dalam akta perlu dilakukan pencoretan kata, huruf, atau angka, pencoretan dilakukan sedemikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi kiri akta;
d. Pencoretan dinyatakan sah setelah diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan notaris (dalam hal ini PPAT).
Mengenai akibat hukum melakukan renvoi akta PPAT tanpa diketahui para pihak, yakni setiap renvoi yang dilakukan oleh PPAT haruslah diparaf sebagai bentuk pengesahan oleh para penghadap, saksi, dan PPAT. Jika renvoi tersebut tidak diketahui oleh para pihak sehingga akta tidak dibubuhi paraf sebagai bentuk pengesahan, maka perubahan tersebut tidak sah. Mengacu pada ketentuan Pasal 48 ayat (3) jo. Pasal 50 ayat (5) UU 2/2014, akta tersebut hanya memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
Lantas berkenaan dengan sanksi hukum bagi PPAT yang melakukan renvoi tanpa diketahui para pihak, yaitu karena akta PPAT tersebut tidak dibubuhi paraf oleh para pihak sehingga kekuatan pembuktian menjadi akta di bawah tangan, maka PPAT dapat dituntut mengganti biaya, ganti rugi, dan bunga oleh penghadap/para penghadap sebagai pihak yang dirugikan. Kemudian, dalam kondisi renvoi dilakukan tanpa persetujuan para penghadap sehingga tidak sesuai dengan keterangan yang disampaikan oleh penghadap, maka ada potensi dugaan tindak pidana pemalsuan akta autentik yang dilakukan oleh PPAT. Tindak pidana tersebut diatur dalam Pasal 264 KUHP atau Pasal 392 UU 1/2023 yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, yaitu tahun 2026.
Bagaimana cara menuntut pengembalian