Bahwa Pemohon memiliki tanah hak milik dengan Sertifikat Hak Milik di Kabupaten Solok Selatan. Namun titik koordinat kepemilikan tanah Pemohon di Sertifikat Hak Milik dengan kondisi tanah sebenar-benarnya ada perbedaan. Bagaimana cara Pemohon untuk menyelesaikan permasalahan perbedaan titik koordinat tersebut?
Pasal 1, No. 20 PP 24/1997 menyatakan bahwa sertipikat merupakan tanda bukti hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf dan kepemilikan satuan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 (2) huruf c UUPA, dan hak tanggungan dicatat dalam buku besar yang bersangkutan. Proses penerbitan sertipikat melalui pendaftaran bukan hanya persoalan prosedur. Jika subjek pemohon dapat membuktikan secara sah bahwa ia merupakan pemegang hak atas tanah pemohon, maka permohonan sertipikat dianggap sah secara hukum. Oleh karena itu, diperlukan pihak sipil dalam permohonan sertipikat.
Sistem pendaftaran negative yang mengandung unsur positif digunakan dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia. Huruf (c) Pasal 19 ayat (2) UUPA mengatur tentang penyerahan dokumen-dokumen yang sah sebagai bukti yang dapat dipercaya dalam daftar hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini. Oleh karena itu, perbuatan tersebut bukanlah alat bukti yang mutlak tetapi merupakan alat bukti yang kuat, dan apabila tidak memungkinkan untuk dibuktikan sebaliknya, maka informasi fisik dan hukum yang terkandung di dalamnya harus diakui sebagai informasi yang akurat. Akibat sistem penerbitan yang tidak ambigu, misalnya menimbulkan akibat positif dan negatif, hal ini tentu bertentangan dengan tujuan pendaftaran tanah yang diatur dalam Pasal 3 UUPA atau PP 24/1997, menyatakan:
a. Memastikan bahwa kepastian dan perlindungan hukum pemilik dan pemegang hak atas tanah, perumahan dan hak lainnya yang telah terdaftar supaya dapat membuktikan dengan mudah bahwa mereka adalah pemegang hak yang sah. Maka dari itu pemegang hak memperoleh sertipikat untuk alat bukti yang sah.
b. Pihak terkait, termasuk pemerintah, akan memberikan informasi untuk memfasilitasi akses ke perumahan terdaftar dan informasi yang diperlukan untuk mengambil tindakan berdasarkan undang-undang anti-perumahan.
c. Demi terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
Dalam hal terjadi ketidakadilan dan kelalaian yang mengakibatkan ketidakakuratan sertipikat produk sah terkait dengan letak pada sertipikat. Jika perbuatan itu dilakukan oleh suatu lembaga negara/BPN, perbuatan itu dapat digolongkan sebagai “onrechtmatigidaad” atau penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara tata usaha negara. Badan Pertanahan Nasional yang diberi hak untuk menerima informasi yang tidak benar oleh Badan Pertanahan Nasional, karena setiap kesalahan dalam data fisik pendaftaran tanah kehilangan unsur kepastian hukum hak atas tanah. Pengelolaan tanah menjadi tidak teratur.
Berdasarkan kasus di atas, untuk penyalahgunaan tindakan pemerintah atas kelalaian pada saat mengukur luas tanah untuk pembuatan peta pengukuran, perlindungan hukum yang berlaku adalah perlindungan hukum preventif, dimana badan hukum tersebut mempunyai kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapat, tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya sengketa. Sebagai akibat dari kesalahan ini, dapat dimintai pertanggungjawaban secara pribadi sehubungan dengan pendekatan fungsional terhadap Hukum Administrasi atau pendekatan perilaku manusia. Tanggung gugat pribadi atas salah pengurusan dalam penggunaan otoritas dan layanan publik. Tanggung gugat perdata dapat menjadi tanggung jawab pribadi jika ada unsur mal administrasi. Apabila sertipikat diterbitkan tanpa mengikuti tata cara yang ditetapkan oleh Negara dan terdapat kekeliruan, maka menjadi tanggung jawab pribadi karena tidak sesuai dengan prinsip umum pemerintahan yang baik yang diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi pemerintah. Sengketa merupakan kelanjutan dari adanya masalah. Jika masalah tidak dapat diselesaikan, masalah menjadi pertengkaran. Selama para pihak berhasil menyelesaikan masalah, tidak ada perselisihan. Namun, jika yang terjadi sebaliknya, para pihak tidak akan dapat menyepakati penyelesaian masalah dan akan timbul sengketa. Jika upaya hukum preventif gagal, upaya hukum represif ditempuh. Hukum represif yang mempunyai tujuan untuk menyelesaikan persengketaan, hal ini berbeda dengan hukum preventif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya perselisihan, sedangkan dalam hukum represif apabila suatu perselisihan tidak dapat dicegah, maka sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 pasal 27 PP 24/1997, yaitu, Apabila upaya penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan atau tidak membuahkan hasil, Ketua Panitia Ajudikasi dalam Sistem Pertanahan dan Kepala Kantor Pertanahan di Badan Pertanahan tanah harus memberitahukan kepada pihak yang mengajukan keberatan untuk mengajukan gugatan atas data fisik dan/atau data hukum yang digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Bagaimana cara menuntut pengembalian