Assalamualaikum wr wb.
Bagaimana cara menyelesaikan sengketa tanah yg belum bersertifikat dan apakah tanah bisa di selesaikan tanpa peradilan?
Walaikumsalam wr. wb.
Terimakasih atas pertanyaannya, baik kami akan menjawab pertanyaan dari Bapak Sudarmono.
Tipologi kasus pertanahan merupakan jenis sengketa, konflik dan atau perkara pertanahan, secara garis besar dikelompokkan menjadi :
1. Penguasaan tanah tanpa hak, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak atau belum dilekati hak (tanah Negara), maupun yang telah dilekati hak oleh pihak tertentu.
2. Sengketa batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang telah ditetapkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten maupun yang masih dalam proses penetapan batas.
3. Sengketa waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang berasal dari warisan.
4. Jual berkali-kali, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang diperoleh dari jual beli kepada lebih dari 1 orang.
5. Sertipikat ganda, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu yang memiliki sertipikat hak atas tanah lebih dari 1.
6. Sertipikat pengganti, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu yang telah diterbitkan sertipikat hak atas tanah pengganti.
7. Akta Jual Beli Palsu, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai suatu bidang tanah tertentu karena adanya Akta Jual Beli palsu.
8. Kekeliruan penunjukan batas, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak yang teiah ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berdasarkan penunjukan batas yang salah.
9. Tumpang tindih, yaitu perbedaan pendapat, nilai kepentingan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah yang diakui satu pihak tertentu karena terdapatnya tumpang tindih batas kepemilikan tanahnya.
10. Putusan Pengadilan, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai putusan badan peradilan yang berkaitan dengan subyek atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak atas tanah tertentu.
Mencermati masalah pertanahan yang semakin kompleks dan meningkat secara kualitas maupun kuantitas, maka diperlukan penanganan secara serius dan sistematis. Berbagai upaya penyelesaian sengketa pertanahan melalui proses litigasi (peradilan) yang ada dianggap belum mampu menyelesaikan sengketa yang ada, sehingga berbagai upaya alternatif penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan ( Non-Ligitasi) seperti melalui mediasi, fasilitasi dan lainnya kemudian mengemuka dengan sasaran untuk meminimalisir sengketa pertanahan yang sarat dengan kepentingan, baik untuk kepentingan pembangunan maupun masyarakat sendiri.
Setiap permasalahan pertanahan yang muncul harus diupayakan untuk ditangani segera agar tidak meluas menjadi masalah yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat yang berdampak sosial, ekonomi, politik dan keamanan. Dalam kerangka inilah kebijakan pertanahan dalam menangani sengketa, konflik, dan perkara pertanahan dilakukan secara sistematis, cepat, efektif, dan terpadu.
Dalam perkembangannya, penyelesaian sengketa dibidang pertanahan melalui Mediasi hal ini telah di atur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 yang telah dilengkapi dengan Peraturan Kepala BPN Nomor 3 tahun 2007. Dengan berlakunya Perpres No. 36 tahun 2005, maka Keppres No. 55 tahun 1993 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dengan berjalannya waktu, penyelesaian sengketa di luar Pengadilan yaitu penyelsaian sengketa alternatif ( ADR) secara implisit dimuat dalam Peraturan struktur organisasi BPN dibentuk 1 (satu) kedeputian, yakni Deputi Bidang Pengkajian menerbitkan Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan melalui Keputusan Kepala BPN RI Nomor 34 tahun 2007. Dalam menjalankan tugasnya menangani sengketa pertanahan, BPN melakukan upaya melalui mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa alternatif.
Pembentukan Deputi tersebut menyiratkan 2 (dua) hal, yaitu pertama, bahwa penyelesaian berbagai konflik dan sengketa pertanahan itu sudah merupakan hal yang sangat mendesak sehingga diupayakan membentuk kedeputian untuk penanganannya. Kedua, terdapat keyakinan bahwa tidak semua sengketa harus diselesaikan melalui pengadilan.
Bagaimana cara menuntut pengembalian