Apakah debitur yang terlilit utang pinjaman online (pinjol) atau mengalami galbay pinjol dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit?
Pasal 1 angka 1 UU Kepailitan dan PKPU, secara yuridis mendefinisikan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas.
Lebih lanjut dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU menegaskan mengenai syarat pengajuan permohonan pailit, yaitu debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.
Jadi, selain diajukan oleh debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas salah satu dari hutang tersebut, permohonan pernyataan pailit juga dapat diajukan oleh kreditur yang dapat membuktikan bahwa ada dua pihak atau lebih yang memiliki piutang atas debitur yang sama dan kewajiban tersebut dapat ditagih di muka pengadilan.
Kemudian dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tersebut telah dipenuhi dan tidak ada pihak yang mengajukan permohonan pailit, maka demi kepentingan umum yakni kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas, kejaksaan dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit.
Kemudian secara khusus Pasal 327 UU 4/2023 mencabut dan menyatakan tidak berlaku Pasal 2 dan Pasal 223 UU Kepailitan dan PKPU tentang pengajuan permohonan pernyataan pailit dan/atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap debitur bank, perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan asuransi, atau perusahaan reasuransi dan dana pensiun.
Sebagai gantinya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan satu-satunya pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit dan/atau permohonan PKPU terhadap debitur yang merupakan bank, perusahaan efek, bursa efek, penyelenggara pasar alternatif, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, penyelenggara dana perlindungan pemodal, lembaga pendanaan efek, lembaga penilaian harga efek, perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah, dana pensiun, lembaga penjamin, lembaga pembiayaan, lembaga keuangan mikro, penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran efek, penyelenggara layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi, atau lembaga jasa keuangan lainnya yang terdaftar dan diawasi oleh OJK sepanjang pembubaran dan/atau kepailitannya tidak diatur berbeda dengan undang-undang lainnya.
Pinjaman Online sebagai Instrumen Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank
Sebelumnya patut Anda ketahui, tidak ada instrumen hukum yang eksplisit menggunakan istilah pinjaman online, akan tetapi POJK No. 10/POJK.05/2022 menerangkan frasa pinjaman online tersebut terakomodir melalui Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI).
Mekanisme yang dilakukan oleh penyelenggara/penyedia platform LPBBTI adalah dengan mempertemukan pemberi dana dengan penerima dana untuk melakukan pendanaan secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan internet.
Hanya saja fakta yang tak terelakkan justru banyak masyarakat yang terjerat utang pada penyelenggara fintech P2P lending ilegal alias yang tidak terdaftar dan tidak berizin OJK.
Berdasarkan data OJK, sampai dengan 12 Juli 2024 hanya ada 98 perusahaan penyelenggara fintech P2P lending yang sudah berizin OJK. Adapun esensi dari penyelenggara fintech P2P lending adalah sebagai platform yang mempertemukan pemberi dana dengan penerima dana serta melakukan pengelolaan dana milik pemberi dana, maka pada prinsipnya penyelenggara fintech P2P lending bertindak sebagai kuasa dari pemberi pinjaman untuk memberikan dana pinjaman kepada penerima pinjaman.
Sehingga apabila penyelenggara fintech P2P lending tidak terdaftar dan tidak berizin dari OJK, artinya tidak memenuhi kualifikasi untuk bertindak sebagai penyedia jasa penyelenggara P2P lending. Seharusnya ini menjadi warning bagi masyarakat, karena ketidakwenangan itu berimplikasi pada dapat dibatalkannya perjanjian antara pemberi dan penerima pinjaman.
Jika Debitur Galbay Pinjol
Setiap penyelenggara fintech P2P lending secara khusus juga memiliki syarat dan ketentuan tersendiri mengenai sistem pendanaan dan peminjaman, yang dapat diakses secara publik melalui platform yang tersedia. Masing-masing platform fintech P2P lending pun mengatur tersendiri mengenai syarat dan ketentuan pendanaan dan/atau peminjaman, tenor pinjaman, nominal bunga pinjaman, perhitungan denda keterlambatan, bahkan mengenai fasilitas refinancing atau restrukturisasi utang.
Meski demikian, kemudahan untuk mencairkan dana pinjaman dari jasa fintech P2P lending, justru mengakibatkan para pengguna jasa (peminjam) terlilit berbagai utang yang jatuh tempo bersamaan pada beberapa platform fintech P2P lending hingga mengalami gagal bayar alias galbay pinjol. Sehingga berimplikasi pada keterlambatan pembayaran pinjaman dan berujung tagihan dari masing-masing peyelenggara fintech P2P lending untuk membayar denda keterlambatan sebesar 0,1% s.d. 0,3% per hari untuk pendanaan konsumtif yang dibatasi untuk tenor pendanaan jangka pendek kurang dari satu tahun.
Bisakah Debitur Galbay Pinjol Ajukan Pailit?
Hingga saat ini belum ada penyelenggara fintech P2P lending yang secara spesifik mengatur mengenai kualifikasi keadaan tertentu dan/atau luar biasa (overmacht) yang dapat dipertimbangkan untuk memberikan keringanan bagi debitur, seperti penurunan suku bunga, perpanjangan tenor pelunasan, pengurangan tunggakan pokok, pengurangan tunggakan bunga ataupun pengurangan denda keterlambatan.
Sepanjang penelusuran kami, terdapat penyelenggara fintech P2P lending yang memberikan kesempatan berupa restrukturisasi ataupun refinancing pembayaran pinjaman apabila terjadi galbay pinjol, contohnya platform pohondana.id pada Poin 4.1 Syarat dan Ketentuan menyebutkan bahwa:
Pembayaran kembali Pendanaan, dengan bunga, harus dilakukan secara berkala. Ketika Penerima Dana mengalami gagal bayar, POHON DANA akan memberikan peringatan dalam bentuk surat teguran tidak dilakukan pembayaran oleh Penerima Dana dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja, dan peringatan diberikan maksimal 3 (tiga) kali. Apabila Penerima Dana gagal membayar kembali angsuran setelah peringatan ketiga maka Penerima Dana dinyatakan wanprestasi. Apabila terjadi wanprestasi, POHON DANA akan melakukan restrukturisasi atau membuat skema pembayaran kembali Pendanaan dan dapat melakukan tindakan hukum dalam proses penyelesaian kredit.
Selain itu, platform Akseleran juga menerangkan dalam FAQ Risiko Pinjaman bahwa sebuah pinjaman dinyatakan Non-Performing Loan (“NPL”) atau macet apabila sudah terlambat lebih dari 90 hari sejak tanggal pembayaran yang seharusnya. Setelah lebih dari 90 hari, Akseleran akan melakukan upaya hukum baik secara perdata (termasuk kepailitan dan eksekusi agunan) maupun secara pidana bila memang terdapat unsur pidananya.
Di sisi lain, juga dimungkinkan Akseleran melakukan analisa atas proses pembayaran invoice dari payor. Jika invoice belum dibayar oleh payor dan payor mengajukan perpanjangan waktu, maka refinancing dapat dilakukan. Jika invoice sudah dibayar oleh payor, tapi pinjaman tidak dilunasi, maka penerima dana wajib menukar dengan invoice baru (dan dianalisa ulang). Jika tidak ada invoice baru yang layak dibiayai, maka upaya penagihan dan upaya hukum mulai dijalankan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa debitur yang galabay pinjol secara berjenjang dapat terlebih dahulu melakukan notifikasi dan permohonan restrukturisasi atau refinancing pinjaman. Namun menurut pandangan kami, jika tidak ada tindak lanjut yang jelas atas permohonan tersebut, debitur pinjaman online dengan iktikad baik dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit sepanjang persyaratan dipenuhi.
Bagaimana cara menuntut pengembalian