Assalamualaikum Bapak/Ibu
Nama saya Ida Denurung biasa dipanggil Ida. Saya ingin bertanya mengenai hutang piutang. Saya memiliki sebuah toko yang menjual bahan-bahan pokok seperti beras, minyak goreng, gula, dan lain-lain. Ada salah seorang konsumen yang sering berbelanja di toko saya sebut saja saudara Y. Awalnya semua transaksi dalam jual-beli tersebut berjalan lancar, tetapi beberapa waktu belakangan orang tersebut berutang hingga Rp 10.000.000 di toko saya dan berjanji akan membayarnya kalau usahanya lancar. Setelah barang saya berikan hingga sekarang saudara Y tidak bayar utang padahal usahanya berjalan lancar. Saya ingin bertanya apakah masalah ini masuk ke perkara perdata atau pidana tentang masalah tidak bayar utang tersebut? Adakah hukum yang bisa menjerat bagi orang yang tidak mau bayar utang?
Sekian.
Waalaikumsalam Wr. Wb. Ibu Ida Denurung. Terima kasih atas pertanyaannya.
Berdasarkan kasus Saudara IDA DENURUNG, dapat dikatakan bahwa bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh konsumen Saudara IDA DENURUNG adalah tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya. Dalam hal ini, konsumen Saudara IDA DENURUNG berjanji akan membayar dan melunasi utangnya, tetapi ia tidak bayar utang. Oleh karenanya, tindakan konsumen yang tidak bayar utang murni merupakan perbuatan wanprestasi, sehingga masuk ke dalam ranah perdata. Dengan demikian, Saudara IDA DENURUNG dapat mengajukan gugatan wanprestasi ke Pengadilan Negeri. Adanya wanprestasi tentu menyebabkan Saudara IDA DENURUNG selaku kreditor mengalami kerugian. Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mengatakan kreditor memiliki hak untuk memaksa debitur yang wanprestasi untuk memenuhi perjanjian atau melakukan pembatalan perjanjian disertai dengan penggantian biaya kerugian dan bunga. KUH Perdata telah mengatur beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh kreditor dalam hal terjadi wanprestasi, yakni sebagai berikut:
Pasal 1246 KUH Perdata mengatakan konsekuensi ganti rugi wanprestasi yang harus dipenuhi debitur kepada kreditor mencakup:
3. Bahwa mengenai apakah boleh seseorang melaporkan orang lain ke pihak yang berwajib yaitu kepolisian karena tidak membayar utang pada dasarnya tidak ada ketentuan yang melarang hal tersebut. Namun, perlu diingat bahwa Pasal 19 ayat 2 UU HAM, telah mengatur sebagai berikut, “Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.” Berdasarkan bunyi pasal tersebut, menurut hemat kami, walaupun ada laporan kepolisian, seseorang tidak boleh dipidana karena ketidakmampuannya membayar utang. Walau demikian, dalam praktiknya permasalahan utang piutang yang tidak dapat diselesaikan secara musyawarah seringkali dilaporkan ke pihak kepolisian dengan dasar penggelapan dan penipuan. Tindak pidana penggelapan dan penipuan diatur dalam KUHP yang masih berlaku pada saat ini dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan yakni pada tahun 2026.
4. Bahwa Berkaitan dengan pasal penggelapan, unsur-unsur Pasal 372 KUHP adalah sebagai berikut:
Kemudian, terkait pasal penipuan, R. Soesilo dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal.261) menerangkan sejumlah unsur-unsur tindak pidana penipuan yang perlu diperhatikan, yaitu:
Selanjutnya, penting untuk diketahui bahwa substansi dari tindak pidana penggelapan dan tindak pidana penipuan adalah jelas berbeda dari suatu perjanjian utang piutang yang merupakan perbuatan hukum perdata. Maka, untuk dapat diproses secara pidana, harus dipenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur actus reus (physical element) dan unsur mens rea (mental element). Unsur actus reus adalah esensi dari kejahatan itu sendiri atau perbuatan yang dilakukan, sedangkan unsur mens rea adalah sikap batin pelaku pada saat melakukan perbuatan.
Bagaimana cara menuntut pengembalian