Pada tahun 2019 saudara perempuan dari ibu saya sebagai Konsumen membeli rumah dari developer. Pembayaran yang dilakukannya hanya kepada developer, belum dilakukan akad kredit bank. Dalam perjalanan cicilan terjadi force majeure, di mana beliau harus menjadi penanggung jawab atas pendidikan anaknya, Sehingga mengajukan diri untuk meminta kebijakan developer untuk membatalkan perjanjian. Developer setuju membatalkan, namun perhitungannya hanya 40% yang dikembalikan dengan alasan pajak-pajak, uang tanda jadi dan kebijakan perusahaan.
Sehubungan dengan hal tersebut, mohon dapat dibantu untuk dicarikan:
1. Peraturan kewajiban Perusahaan property untuk mengembalikan uang konsumen dalam hal belum dilakukan akad kredit dan terjadi force majeure;
2. Peraturan pajak yang wajib dibayarkan Perusahaan property; dan
3. Kebijakan pemerintah di masa pandemi, relaksasi apa yang diberikan?
Terima kasih telah menggunakan pelayanan Halo JPN pada Kejaksaan Negeri Sungai Penuh. Kami akan menjawab pertanyaan yang telah saudara ajukan sebagai berikut :
Berdasarkan kronologis yang Saudara sampaikan, Force Majeure dalam Perjanjian menurut Subekti sebagaimana dikutip dalam Wabah Corona sebagai Alasan Force Majeur dalam Perjanjian, force majeure atau keadaan memaksa merupakan pembelaan debitur untuk menunjukan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi.
Masih dari artikel yang sama, unsur utama yang dapat menimbulkan keadaan force majeur adalah:
Karena luasnya kemungkinan keadaan atau situasi yang dapat dianggap sebagai force majeure, untuk mendapatkan kepastian hukum para pihak biasanya mencantumkan klausula dengan daftar peristiwa yang dapat menjadi force majeure dalam perjanjian mereka. Dalam kasus yang Anda tanyakan, kami asumsikan peristiwa yang dialami konsumen telah dicantumkan dalam perjanjian atau setidaknya telah disepakati kedua belah pihak sebagai force majeure. Kebijakan force majeure berakibat pada pembatalan perjanjian, yang didasarkan pada ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata bahwa perjanjian dapat ditarik kembali dengan kesepakatan para pihak.
Aturan pengembalian uang pembeli karena pembatalan jual beli rumah diatur dalam PP 12/2021 yang membedakan jumlah pengembalian uang pembeli ke dalam dua fase, yaitu:
Fase Pemasaran
Yang dimaksud dengan fase pemasaran adalah fase di mana pelaku pembangunan (developer) memperkenalkan, menawarkan, menentukan harga, dan menyebarluaskan informasi mengenai rumah atau perumahan dan satuan rumah susun atau rumah susun yang dilakukan oleh developer pada saat sebelum atau dalam proses sebelum penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”).
Dalam fase ini, apabila pembatalan pembelian rumah dilakukan oleh calon pembeli yang bukan disebabkan oleh kelalaian developer, maka developer mengembalikan pembayaran yang telah diterima kepada calon pembeli dengan dapat memotong paling rendah 20% dari pembayaran yang telah diterimanya ditambah dengan biaya pajak yang telah diperhitungkan.
Pembatalan tersebut disampaikan secara tertulis, dan pengembalian pembayaran dilaksanakan paling lambat 30 hari kalender sejak surat pembatalan ditandatangani.
Fase PPJB
Apabila pembatalan pembelian rumah terjadi setelah penandatanganan PPJB, maka ketentuannya adalah sebagai berikut:
Sehingga, pada dasarnya ketentuan mengenai kewajiban pengembalian uang akibat pembatalan jual beli rumah tergantung pada fase saat pembatalan terjadi dan alasan pembatalan.
Namun perlu Anda pahami, force majeure berbeda dengan kelalaian, karena tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, maka menurut hemat kami ketentuan PP 12/2021 tidak dapat diberlakukan.
Sejauh penelusuran kami, ketentuan pengembalian uang pembeli jika terjadi pembatalan akibat force majeure tidak diatur secara khusus perhitungannya. Oleh karenanya, menurut hemat kami pembatalan harus didasarkan atas ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, yaitu sesuai kesepakatan para pihak. Dengan kata lain, jumlah uang yang dikembalikan didasarkan kesepakatan bersama.
Adapun belum dilakukannya akad kredit pada dasarnya tidak berpengaruh pada ketentuan pembatalan perjanjian ini.
Pajak yang Dibayarkan Developer
Menjawab pertanyaan kedua Anda, paling tidak terdapat dua macam pajak yang harus dibayarkan oleh developer:
1. Pajak Penghasilan (“PPh”)
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, terutang PPh yang bersifat final. Besarnya PPh tersebut adalah:
2. Pajak Bumi dan Bangunan ("PBB-P2”)
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (“PBB-P2”) adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan.
Adapun objek dari PBB-P2 adalah bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Sedangkan, untuk wajib pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Relaksasi Pajak di Masa Pandemi
Kemudian menjawab pertanyaan ketiga Anda, kami mengasumsikan relaksasi yang Anda maksud adalah relaksasi perpajakan. Hal ini telah diulas sebelumnya dalam artikel Ragam Kebijakan Insentif dan Relaksasi Pajak Selama Pandemi. Namun, dalam artikel ini kami akan menjelaskan lebih lanjut sesuai pertanyaan Anda perihal jual beli properti.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan 6/PMK.010/2022, insentif PPh final dalam bidang usaha jasa konstruksi yang ditanggung pemerintah hanya diberikan kepada wajib pajak penerima program percepatan peningkatan tata guna air irigasi (P3-TGAI). Adapun, jangka waktu pemberian insentif tersebut diberikan pada masa pajak Januari 2022 – Juni 2022.
Selain PPh, bagi pengusaha rumah tapak dan rumah susun, juga bisa mendapatkan Pajak Pertambahan Nilai (“PPN”) yang ditanggung pemerintah untuk masa pajak Januari 2022 – September 2022. PPN yang ditanggung pemerintah untuk penyerahan rumah tapak atau satuan rumah susun dengan harga jual maksimal Rp.2 miliar adalah sebesar 50%, sedangkan untuk harga jual Rp2 miliar sampai Rp5 miliar adalah sebesar 24%.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Demikian jawaban dari kami tentang batal beli rumah karena force majeure, semoga bermanfaat.
Bagaimana cara menuntut pengembalian