Bahwa saya mempunyai sebidang tanah (lebar 50m x panjang 100m) dan persis 5 meter dibelakang tanah tersebut terdapat sungai. Bahwa tanah tersebut saya peroleh dari orang tua saya yang telah meninggal dan tanah ini belum disertifikat, tetapi memiliki surat keterangan sporadic dari kepala desa. Kemudian saya berniat untuk tanah tersebut akan disertifikasi. Namun berdasarkan informasi yang saya dapat bahwa tanah yang berada di bantaran sungai tersebut merupakan tanah negara. mohon penjelasannya?
Untuk menjawab permasalahan hukum tersebut, maka perlu dibahas mengenai batasan penguasaan oleh negara atas tanah bantaran sungai tersebut.
Pada dasarnya tanah negara merupakan tanah yang dikuasai oleh negara, namun dalam hal ini negara bukan bertindak sebagai pemilik atas tanah. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang mengatur hak menguasai negara sebagai berikut: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Fungsi penguasaan oleh negara terhadap bumi dan air, termasuk di dalamnya tanah, di Indonesia adalah semata-mata untuk fungsi sosial bagi kemakmuran rakyat Indonesia. Hak penguasaan oleh negara tersebut kembali dipertegas oleh ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”), yang kemudian dijabarkan oleh Pasal 2 ayat (2) UUPA sebagai berikut:
Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa maksud dari tanah negara adalah tanah yang hak penguasaannya diberikan oleh undang-undang kepada negara terbatas pada pengelolaan dengan tujuan untuk kepentingan masyarakat Indonesia.
Status Tanah Bantaran Sungai
Lalu bagaimanakah status dari tanah bantaran sungai dalam kaitannya sebagai tanah yang dikuasai oleh negara?
Pengaturan mengenai status tanah bantaran sungai sendiri belum tegas di atur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun, dalam hal ini kita dapat merujuk kepada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28/Prt/M/2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau (“Permen PUPR 28/2015”). Perlu diketahui bahwa Permen PUPR 28/2015 tesebut merupakan aturan pelaksana dari aturan tentang pengairan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairanyang saat ini telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air(“UU SDA”). Meskipun undang-undang induknya telah dinyatakan tidak berlaku, Permen PUPR 28/2015 masih dapat tetap berlaku sesuai dengan ketentuan Pasal 76 huruf b UU SDA yang menyatakan sebagai berikut:
Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur mengenai Sumber Daya Air dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Sebelum menentukan status dari tanah bantaran sungai, terlebih dahulu perlu untuk diketahui mengenai definisi dari sungai. Ketentuan Pasal 1 angka 1Permen PUPR 28/2015 mengatur definisi sungai sebagai berikut:
Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan.
Sebagaimana ketentuan di atas, maka wilayah sungai mencakup hingga batas terluar garis sempadan. Adapun garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditentukan paling sedikit berjarak 3 meter dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai, sedangkan di luar kawasan perkotaan ditentukan paling sedikit berjarak 5 meter.
Selanjutnya, dari Lampiran I Permen PUPR 28/2015 (hal. 10) pada gambar 3 dapat dilihat bahwa bantaran sungai termasuk kedalam wilayah suatu sungai, karena letaknya berada di dalam garis sempadan.
Kemudian, ketentuan Pasal 1 angka (11) UU SDA jo. Pasal 1 angka (7) Permen PUPR 28/2015 juga mengatur mengenai definisi dari wilayah sungai sebagai berikut:
Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 (dua ribu) km2.
Dalam ketentuan tersebut dijelaskan bahwa wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air, dan termasuk di dalamnya tanah bantaran sungai.
Karena merupakan wilayah pengelolaan sumber daya air, menurut hemat kami, larangan atas kepemilikan tanah bantaran sungai oleh perseorangan secara implisit terkandung dalam ketentuan Pasal 7 UU SDA sebagai berikut:
Sumber Daya Air tidak dapat dimiliki dan/atau dikuasai oleh perseorangan, kelompok masyarakat, atau badan usaha.
Sumber daya air sendiri terdiri dari air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya, sedangkan sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, atau di bawah permukaan tanah.
Tanah milik Abdul Hari seluas 4 hekta