Seorang ayah meninggal meninggalkan surat wasiat pembagian harta dan utang piutang kepada anak-anak dan istrinya. Anak pertamanya menolak warisan harta dan warisan utang dengan membuat surat pelepasan hak waris. Pertanyaannya, apakah ahli waris yang lain harus membayar utang tersebut? Kemudian, apakah harta atas nama sang ayah saja yang dipakai untuk membayar hutang? Atau harta istri dan anak-anak lainnya bisa diambil? Pewaris dan seluruh ahli waris tidak beragama Islam.
Terimakasih telah menggunakan layanan hukum online Halo JPN
Berdasarkan KUHPerdata
Menurut J. Satrio dalam Hukum Waris (hal. 8) menerangkan bahwa warisan adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada para ahli waris. Dengan kata lain, jika seseorang menerima warisan dari pewaris, dirinya tidak hanya menerima harta, namun juga memikul utang pewaris.
Mengenai anak yang melepaskan hak warisnya, pada dasarnya, menurut hukum perdata, seseorang dapat menerima maupun menolak warisan yang jatuh kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 1045 KUH Perdata yang menerangkan bahwa tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya.
Berdasarkan Pasal 1057 KUH Perdata, untuk menolak warisan, orang yang menolak harus melakukan penolakan secara tegas dengan memberikan pernyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya warisan itu terbuka.
Jika anak pertama melepaskan hak warisnya, maka ia tidak menerima warisan si pewaris, baik harta maupun utangnya. Dengan demikian, anak pertama tersebut tidak dapat dibebankan atas utang si pewaris dan tidak dapat dituntut karena melepaskan hak waris.
Lalu bagaimana dengan utang pewaris atau warisan utang? Utang pewaris harus ditanggung oleh para ahli waris yang menerima warisan. Hal ini diatur dalam Pasal 1100 KUH Perdata yang berbunyi:
Para ahli waris yang telah bersedia menerima warisan, harus ikut memikul pembayaran utang, hibah wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan itu.
Misalnya A, B, dan C mendapatkan 20%, 30%, dan 50% dari warisan pewaris, maka A, B, dan C harus membayar utang pewaris dengan perbandingan 20%, 30% dan 50%.
Untuk itu ada yang dinamakan hak berpikir. J. Satrio dalam dalam Hukum Waris (hal. 313), menjelaskan bahwa karena seorang ahli waris demi hukum memperoleh semua hak dan kewajiban si pewaris, maka ada konsekuensi yang tidak adil terhadap seseorang, sebab suatu warisan tidak selalu mempunyai saldo yang positif. Pasalnya, tidak tertutup kemungkinan jumlah utang pewaris melebihi aktiva pewaris.
Oleh karena itu ada yang dinamakan hak berpikir yang diatur dalam Pasal 1023 KUH Perdata:
Barangsiapa memperoleh hak atas suatu warisan dan sekiranya ingin menyelidiki keadaan harta peninggalan itu, agar dapat mempertimbangkan yang terbaik bagi kepentingan mereka, apakah menerima secara murni, ataukah menerima dengan hak istimewa untuk merinci harta peninggalan itu, ataukah menolaknya, mempunyai hak untuk berpikir, dan harus memberikan pernyataan mengenai hal itu pada kepaniteraan Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya warisan itu terbuka; pernyataan itu harus didaftarkan dalam daftar yang disediakan untuk itu.
Dalam hal ini, jika seseorang menerima warisan secara murni, ia bertanggung jawab atas seluruh utang pewaris. Sedangkan jika ia menerima dengan hak istimewa (ahli waris beneficiair), ia hanya harus menanggung utang pewaris, sebesar jumlah aktiva yang diterimanya.
J. Satrio (hal. 316) kemudian menjelaskan bahwa ada sarjana yang berpendapat bahwa para ahli waris beneficiair adalah debitur untuk seluruh utang-utang warisan, hanya saja tanggung jawabnya terbatas hanya sampai sebesar aktiva harta warisan saja. Lebih lanjut, J. Satrio mengutip Martens, menerangkan bahwa para ahli waris beneficiair dapat dikatakan sebagai debitur warisan, tetapi tidak untuk seluruh utang-utang warisan.
Sehubungan dengan itu, ada sejumlah akibat dari hak istimewa ini yang diatur dalam Pasal 1032 KUH Perdata:
Menjawab pertanyaan Anda, jika para ahli waris lain menerima warisan secara murni, maka para ahli waris harus membayar semua utang pewaris. Masing-masing ahli waris harus membayar utang tersebut sebesar bagian warisan yang ia terima (jika menerima ½ bagian warisan, maka ia harus membayar ½ bagian utang pewaris). Ini berarti setiap ahli waris harus membayar utang si pewaris dengan harta mereka sendiri.
Mengenai apakah harta para ahli waris bisa diambil, tentu saja tidak bisa seketika diambil, karena tidak adanya beban jaminan kebendaan yang diletakkan di atas harta pribadi para ahli waris. Akan tetapi, kreditur mempunyai hak untuk menggugat para ahli waris untuk melunasi utang pewaris jika sampai tanggal yang disepakati, utang tersebut tidak juga dibayar.
Namun, jika para ahli waris menerima dengan hak istimewa untuk diadakan perhitungan aktiva dan pasiva warisan, para ahli waris beneficiair tersebut hanya perlu membayar utang pewaris sebesar jumlah warisan yang diterimanya. Dengan demikian, para ahli waris beneficiair ini membayar utang pewaris tersebut menggunakan warisan (aktiva) yang diperolehnya dari pewaris dan hanya sebesar itu saja.
Demikian jawaban dari kami seputar warisan utang, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) Pasal Pasal 1023,Pasal 1032, Pasal 1100,1045, Pasal 1057, dst
Referensi:
J. Satrio. Hukum Waris. Alumni: Bandung, 1992.
Bagaimana cara menuntut pengembalian