Dijawab tanggal 2023-05-10 14:27:25+07
- Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) menganut asas monogami, nyatanya praktik poligami banyak terjadi di Indonesia. UU Perkawinan sendiri menganut asas monogami di mana perkawinan dengan hanya seorang suami dan seorang istri. Hal yang tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan, yang mengatur sebagai berikut: Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan: Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
- Asas perkawinan monogami yang dianut dalam UU Perkawinan tersebut dibolehkan untuk disimpangi sepanjang memenuhi ketentuanketentuan yang dipersyaratkan oleh undang-undang. sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan, yang mengatur sebagai berikut: Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan: Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari 11 seorang apabila dikehendaki oleh pihak pihak yang bersangkutan.
- Asas perkawinan monogami yang diperluas tersebut diperjelas dalam Angka 4 huruf c Penjelasan Umum UU Perkawinan yang mengatur sebagai berikut: Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal ini dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.
- Asas perkawinan monogami yang diperluas tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 56 ayat (1) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
- Apabila demikian menimbulkan suatu problematika hukum 12 berkaitan bagaimana status utang dan harta bersama saat suami melakukan poligami? UU Perkawinan mengatur bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (Pasal 35 ayat 1 UU Perkawinan). Namun, KHI memperjelas bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri (Pasal 85 KHI);
- Oleh karenanya, pertanggungjawaban terhadap utang suami atau istri dibebankan pada hartanya masing masing (Pasal 93 ayat 1 KHI). Akan tetapi, pertangungjawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama (Pasal 93 ayat (2) KHI). Dalam hal harta bersama tidak mencukupi, maka kemudian dibebankan kepada harta suami (Pasal 93 ayat 3 KHI)), baru setelahnya apabila masih tidak mencukupi dibebankan kepada harta istri (Pasal 93 ayat (4) KHI).
- Terkait dengan poligami, harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri (Pasal 94 ayat 1 KHI) yang perhitungannya dimulai 13 pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, yang ketiga, atau yang keempat (Pasal 94 ayat (2) KHI).
- Berdasarkan uraian di atas, jika utang yang dimaksud adalah utang pribadi istri kedua, maka pertanggungjawabannya diambil dari harta benda pribadi istri kedua dan bukan harta bersama.
- Akan tetapi, apabila utang tersebut adalah utang untuk kepentingan keluarga, maka dapat diambilkan dari harta bersama. Akan tetapi, istri kedua tidak memiliki kesempatan hukum apapun untuk menuntut istri pertama memanfaatkan harta bersama dari perkawinan dengan istri pertama tersebut untuk mempertanggungjawabkan beban utang istri kedua dan suaminya, karena harta bersama antara suami dan istri pertama dengan harta bersama suami dan istri kedua adalah masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
Jika anda kurang puas dengan jawaban ini, silakan berkonsultasi lebih lanjut dengan Jaksa Pengacara Negara pada
KN. SURABAYA
Alamat : Kejaksaan Negeri Surabaya
Jl. Raya Sukomanunggal Jaya No.1, Sukomanunggal, Kec. Sukomanunggal, Kota SBY, Jawa Timur 60188
Kontak : 81282345084