Selamat Siang Bapak, saya memiliki permasalahan terkait hutang saudara laki-laki saya yang belum dibayarkan kepada orangtua (ibu) kami sampai orangtua kami tersebut telah meninggal dunia.
Dapat dikatakan saya adalah keluarganya yang menyaksikan bahwa adik saya tersebut meminjam uang sekitar Rp5.000.000 kepada orangtua kami semasa beliau masih hidup dan adik saya berjanji akan membayarnya karena sebelumnya juga bisa dikatakan adik saya ini sering meminjam kepada Ibu kami, lalu lebih kurang dari satu tahun adik saya meminjam uang tersebut orangtua kami meninggal dunia. Singkat cerita diwaktu pembagian harta warisan, dan masalah hutang piutang almarhumah, adik saya tidak mau mengakui perihal hutangnya tersebut, saya sempat mengungkit di depan saudara kami (kami 10 bersaudara) namun adik saya hanya diam dan pura-pura tidak mendengar. Ditambah lagi salah satu dari kakak perempuan saya membela adik saya dengan mengatakan bahwa hutang tersebut dianggap sudah lunas, sementara saya memiliki hutang kepada ibu kami sebesar Rp1.000.000 wajib saya bayar disaat itu juga. Saya merasa tidak adil, dan saya ingin bertanya apakah ada hukum yang menampung tentang permasalahan saya tersebut?
Terima kasih
Selamat siang Bapak Mara Lohot, terima kasih telah menghubungi Halo JPN dan memberikan pertanyaan kepada kami.
Kami akan mencoba menjawab pertanyaan bapak terkait hutang piutang.
Utang adalah bentuk kredit atau pinjaman, baik tunai maupun surat berharga guna memenuhi kebutuhan. Pinjaman atau utang wajib untuk dikembalikan dalam jangka waktu yang telah disepakati dengan besaran tergantung dari masing-masing kebutuhan individu atau perusahaan.
Utang piutang dalam KUHPerdata dikenal dengan perjanjian pinjam meminjam sebagai diatur Bab XIII KUHPerdata, dimana pihak pertama menyerahkan sejumlah barang kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama.
Utang piutang sebagai suatu perjanjian tunduk pada syarat sah sebagaimana ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu sepakat pihak yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, terdapat suatu hal tertentu, dan terdapat suatu sebab yang halal. Berdasarkan ketentuan tersebut, tidak terdapat
syarat yang mengharuskan suatu perjanjian dibuat secara tertulis. Dengan kata lain, 16 perjanjian yang dibuat
secara lisan juga mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.
Dalam proses pembuktian suatu perkara perdata, lazimnya alat bukti yang dipergunakan oleh pihak yang mendalilkan sesuatu sebagaimana ditentukan Pasal 164 HIR adalah alat bukti surat, karena dalam suatu hubungan keperdataan, surat sengaja dibuat dengan maksud untuk memudahkan proses pembuktian, apabila dikemudian hari terdapat sengketa perdata antara pihak-pihak yang terkait.
Namun demikian, dalam hukum acara perdata diatur 5 (lima) alat bukti sebagaimana ditentukan Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 164 HIR, yaitu surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Jadi apabila seseorang ingin menuntut pihak lain oleh karena tidak membayar hutang berdasarkan perjanjian utang piutang
secara lisan ke Pengadilan, maka orang (Penggugat) tersebut dapat mengajukan alat bukti saksi yang dapat
menerangkan adanya perjanjian utang-piutang secara lisan tersebut disertai alat bukti lain yang mendukung adanya 17 perjanjian lisan tersebut, misalnya bukti transfer atau kuitansi bermeterai, dan lain sebagainya.
Dalam prakteknya terdapat beberapa sengketa utang piutang yang tidak dapat diselesaikan secara musyarawarah dan justru malah dilaporkan ke pihak kepolisian dengan dugaan pelanggaran Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penggelapan dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
Terdapat pengecualian yakni dalam hal pembayaran utang menggunakan cek (cheque) yang kosong atau tidak ada dananya. Pasca dicabutnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek
Kosong melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang No. 1 Tahun 1971 tentang Pencabutan Undang- Undang No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong. Pembayaran dengan cek
kosong langsung direferensikan ke Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, yang telah menjadi Yurisprudensi
Mahkamah Agung No 1036K/PID/1989 yang berbunyi: bahwa sejak semula terdakwa telah dengan sadar
mengetahui bahwa cek-cek yang diberikan kepada saksi korban adalah tidak didukung oleh dana atau dikenal
sebagai cek kosong, sehingga dengan demikian tuduhan 10 "penipuan" harus dianggap terbukti.
Semoga jawaban kami dapat membantu bapak, kalau masih ada pertanyaan silahkan ditanyakan kembali ya pak, terima kasih
Tanah milik Abdul Hari seluas 4 hekta