Selamat pagi Bapak Ibu, saya ingin bertanya, ada seseorang yang memiliki hutang terhadap keluarga saya, namun sudah sekian lama tidak dikembalikan dan ketika ditagih dia tidak langsung membayar hutang tersebut dan selalu mengulur-ulur waktu sementara jumlah nominal uang saya yang dipinjam tersebut tidaklah sedikit. Bagaimana solusi hukum terhadap permasalahan tersebut? Terima kasih.
Terima kasih atas kepercayaan Saudara kepada halo JPN. Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara adalah sebagai berikut:
Utang adalah bentuk kredit atau pinjaman, baik tunai maupun surat berharga guna memenuhi kebutuhan. Pinjaman atau utang wajib untuk dikembalikan dalam jangka waktu yang telah disepakati dengan besaran tergantung dari masing-masing kebutuhan individu atau perusahaan. Piutang adalah pemberian kredit atau pinjaman, baik secara tunai dan nontunai kepada individu maupun perusahaan. Umumnya piutang terjadi karena seseorang tidak bisa melunasi transaksi tepat waktu. Dalam artian lain, piutang adalah sebutan bagi uang yang anda pinjamkan kepada orang lain.
Utang piutang dalam KUHPerdata dikenal dengan perjanjian pinjam meminjam sebagai diatur Bab XIII KUHPerdata, dimana pihak pertama menyerahkan sejumlah barang kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama.
Dalam Pasal 1754 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa :
Pinjam-meminjam adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain sesuatu jumlah tentang barang-barang atau uang yang menghabiskan karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan dengan jumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
Perjanjian utang piutang dalam KUH Perdata tidak diatur secara tegas dan terperinci. Namun, peraturan mengenai utang piutang tersirat dalam Pasal 1754 KUH Perdata yang menyatakan bahwa dalam perjanjian pinjaman, pihak yang meminjam harus mengembalikan dengan bentuk dan kualitas yang sama.
Kesepakatan antara peminjam dan pemberi pinjaman dalam perjanjian utang piutang melahirkan hubungan keperdataan yang menjadi undang- undang bagi para pihak. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sehubungan dengan itu, kesepakatan mengenai hak dan kewajiban para pihak yang tertuang dalam perjanjian utang piutang tersebut harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Kemudian, apabila tidak ada kesepakatan rinci dalam bentuk tertulis, KUH Perdata merupakan aturan dasar yang harus dipatuhi para pihak.
Sementara itu, dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah mengatur tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.
Berpedoman pada ketentuan Pasal 19 ayat (2) UU HAM tersebut, meskipun ada laporan yang masuk ke pihak kepolisian terkait sengketa utang piutang, pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena ketidakmampuannya membayar utang.
Dalam prakteknya terdapat beberapa sengketa utang piutang yang tidak dapat diselesaikan secara musyarawarah dan justru malah dilaporkan ke pihak kepolisian dengan dugaan pelanggaran Pasal 372 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penggelapan dan Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.
Substansi dari tindak pidana penggelapan dan tindak pidana penipuan adalah jelas berbeda dari 9suatu perjanjian yang merupakan perbuatan hukum perdata. Untuk dapat diproses secara pidana, harus ada perbuatan (actus reus) dan niat jahat (mens rea) dalam terpenuhinya unsur-unsur dalam Pasal 372 KUHP dan Pasal 378 KUHP tersebut.
Bagaimana cara menuntut pengembalian