berawal adanya perjanjian kredit usaha mikro suami diketahui juga oleh istri tahun 2015 tanggungan rumah beserta tanah.Singkat cerita pertengahan jalan akhir Tahun 2016 terjadi perceraian atas putusan pengadilan bercerai dengan hak asuh anak oleh istri dan tinggal dirumah sebagai jaminan kredit.
PERTANYAAN
demikian pengajuan pertanyaannya dibuat,diucapkan terima kasih
Sebelumnya kami ucapkan terimakasih atas kepercayaan kepada Tim HALO JPN untuk mendiskusikan permasalahan perdata yang Saudari alami, sebelum menjawab permasalahan Saudari kami akan menyampaikan beberapa hal tentang hukum perikatan dan kredit yang berlaku di Indonesia :
Pada dasarnya perjanjian dilakukan dengan itikad baik (good faith). Dan perjanjian itu bersifat memaksa (imperatif). Perjanjian merupakan bentuk perikatan hukum. Pasal 1233 KUHPerdata, Perikatan, lahir karena suatu persetujuan/perjanjian atau karena undang- undang. Pasal 1234 KUHPerdata, berbunyi: Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum perdata yang diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) terjemahan Prof. Subekti, yang didefinisikan sebagai berikut: Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Dalam melakukan perjanjian kedua belah pihak sebagai subyek hukum, harus memenuhi syarat syahnya suatu perjanjian menurut hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat empat syarat (kumulatif) yang diperlukan agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah secara hukum, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal. Sehingga apabila keempat syarat tersebut terpenuhi maka perjanjian yang telah dibuat, adalah sah. Sehingga kedua belah pihak harus memenuhi perjanjian tersebut. Akibat perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang (asas pacta sun servanda).
Pasal 1338 KUHPerdata, yang berbunyi: Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik Secara khusus, mengenai perjanjian utang-piutang sebagai perbuatan pinjam-meminjam diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata, yang berbunyi: Pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama. Dengan demikian, pengertian/definisi pinjam-meminjam menurut Pasal 1754 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah uang yang sama dengan jenis dan mutu yang sama pula.
Berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata terkait perjanjian antara suami Saudari dengan Pihak Bank, maka kedua belah pihak terikat untuk menunaikan hak dan kewajiban masing-masing sesuai perjanjian. Karena perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang. Sehingga apabila perjanjian tidak dilaksanakan dengan baik maka berarti terjadi cedera janji/ingkar janji (wanprestasi). Apa itu wanprestasi atau ingkar janji. Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan debitur baik karena kesengajaan atau kelalaian. Wanprestasi diatur pada Pasal 1238 KUHPerdata, debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan apa yang telah ditentukan. Bentuk-bentuk wanprestasi : a. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali; b. Melaksanakan tetapi tidak tepat waktu (terlambat); c. Melaksanakan tetapi tidak seperti yang diperjanjikan; dan d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Tatacara Menyatakan debitur wanprestasi 1. Sommatie: Peringatan tertulis dari kreditur kepada debitur secara resmi melalui Pengadilan Negeri. 2. Ingebreke Stelling: Peringatan kreditur kepada debitur tidak melalui Pengadilan Negeri.
Berdasarkan Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Pihak Bank dalam memberikan kredit tidak pernah menginginkan bahwa kredit yang diberikan akan menjadi kredit yang bermasalah, dan untuk keperluan itu pihak Bank akan melakukan segala upaya preventif yang ditujukan untuk mencegah agar kredit tidak bermasalah,
namun tidak mustahil apabila kredit pada akhirnya bermasalah, dan hal yang terburuk
mengakibatkan kredit macet. Kredit Macet adalah suatu keadaan dimana seorang nasabah
tidak mampu membayar lunas kredit Bank tepat pada waktunya. Kredit yang dikategorikan
sebagai kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL) adalah apabila kualitas kredit
tersebut tergolong pada tingkat kolektibilitas kurang lancar, diragukan atau macet.
Untuk mengatasi kredit bermasalah, Bank dapat menempuh dua cara atau strategi
yaitu dengan penyelamatan kredit dan penyelesaian kredit. Mengenai penyelamatan kredit
bermasalah dapat dilakukan dengan berpedoman kepada Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor : 26/4/BPPP tahun 1993 tentang Kualitas Aktiva Produksi dan Pembentukan
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produksi tertanggal 29 Mei 1993 yang pada prinsipnya
mengatur penyelamatan kredit bermasalah sebelum diselesaikan melalui lembaga hukum
adalah melalui alternatif penanganan secara penjadwalan kembali (rescheduling),
persyaratan kembali (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring). Dalam hal
penyelamatan kredit menggunakan restrukturisasi (penataan kembali) Bank dapat
memberikan penyertaan modal sementara sebagaimana ditentukan dalam ketentuan pasal 7
huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Sedangkan mengenai penyelesaian kredit bermasalah dapat dikatakan merupakan
langkah terakhir yang dapat dilakukan setelah langkah-langkah penyelamatan sebagaimana
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/4/BPPP tahun 1993 tentang Kualitas
Aktiva Produksi dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produksi yang berupa
restrukturisasi tidak efektif lagi. Dikatakan sebagai langkah terakhir karena penyelesaian
kredit bermasalah melalui lembaga hukum yang memang memerlukan waktu yang relatif
lama, dan bila melalui badan peradilan maka kepastian hukumnya baru ada setelah
memiliki kekuatan hukum tetap (inkraacht van bewijs). Mengingat penyelesaian melalui
badan peradilan itu memerlukan waktu yang sangat panjang, maka penyelesaian kredit
bermasalah itu dapat pula melalui lembaga-lembaga lain yang kompeten dalam membantu menyelesaikan kredit bermasalah.
Membaca kronologis permasalahan yang Saudari ajukan yakni berawal adanya perjanjian kredit usaha mikro suami diketahui juga oleh istri tahun 2015 tanggungan rumah beserta tanah dapat kami simpulkan bahwa pada saat mantan suami Saudari mengajukan kredit kepada Bank dengan disertai agunan berupa rumah beserta tanah tersebut, sudah memperoleh izin dari Saudari, sebagaimana pendapat Usanti, Trisadini Prasastinah & Bakarbessy Leonora dalam bukunya yang berjudul Hukum Jaminan menyatakan bahwa diperlukan persetujuan dari pihak suami maupun istri untuk melakukan perjanjian kredit. Persetujuan suami istri dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepada Bank atau Kreditur bahwa tidak akan ada sanggahan atau tuntutan dari suami atau istri
terhadap Akta Pembuatan Hak Tanggungan (APHT) di waktu yang akan datang. Suami atau istri tersebut walaupun cakap, pada asasnya yang berhak menjaminkan bendanya adalah pemilik benda (orang yang berwenang untuk bertindak karena perbuatan menjaminkan sebagai langkah awal dari pengasingan benda tersebut). Hal ini sesuai dengan asas Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet bahwa tak seorangpun dapat mengalihkan lebih banyak haknya daripada yang ia miliki atau orang yang melakukan perbuatan hukum harus sesuai dengan kewenangannya. Hal tersebut diatur juga dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menentukan bahwa Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
Anda mengatakan bahwa yang dijadikan agunan adalah Sertifikat tanah, Kami beranggapan bahwa sertifikat tanah yang Anda maksud adalah sertifikat hak atas tanah yaitu Sertifikat Hak Milik yang dijaminkan dengan hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UU Hak Tanggungan).
Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU Hak Tanggungan, hak tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut :
melihat pada ketentuan di atas, hak tanggungan tersebut hapus karena Anda sudah melunasi utang suami Saudari.
Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UU Hak Tanggungan, setelah hak tanggungan hapus, Kantor Pertanahan mencoret catatan hak tanggungan pada buku tanah hak atas tanah dan sertifikatnya. Dengan hapusnya hak tanggungan, sertifikat hak tanggungan tersebut akan ditarik dan bersama-sama buku tanah hak tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan (Pasal 22 ayat (2) UU Hak Tanggungan).
Namun sebelum sampai pada tahapan penghapusan hak tanggungan, karena sertifikat yang dijadikan agunan pada Bank adalah atas nama debitur dalam hal ini suami Saudari, maka sudah selayaknya berdasarkan hukum pengambilan sertifikat tersebut dengan hadirnya suami Saudari atau dengan Surat Kuasa dari suami Saudari. Kemudian karena Saudari tidak memungkinkan menghadirkan mantan suami untuk mengambil sertifikat tanah, sementara beban pelunasan cicilan Saudari sebagai mantan istri yang menanggung semuanya dengan pertimbanga anak-anak mau tinggal dimana, saran kami adalah untuk dilakukan pembicaraan secara kekeluargaan dengan suami Saudari atau dapat juga dimintakan Penetapan Pengadilan yang menyatakan bahwa terhadap sertifikat tanah tersebut oleh suami Saudari diserahkan kepada Saudari, sehingga dapat Saudari jadikan sebagai dasar untuk mengambil sertifikat tanah yang dijadikan agunan tersebut.
Saudari mengatakan dikarenakan tidak ada kesepahaman antara pihak Bank dengan Saudari akhirnya pihak Bank mengembalikan uang pelunasan melalui transfer ke rekening Saudari. Terhadap fakta ini Saudari tidak menjelaskan secara rinci mengenai pengangsuran tunggakan suami Saudari ke Bank melalui rekening kredit suami Saudari atau melalui rekening tabungan suami Saudari, sehingga kami berasumsi angsuran yang Saudari bayarkan untuk pelunasan tunggakan kredit suami Saudari adalah masuk ke dalam rekening penampungan Bank, karena tanpa seijin dari suami Saudari selaku Debitur, terhadap pelunasan tersebut pihak Bank tidak dapat secara sepihak menyetorkan/mengembalikan ke dalam rekening Saudari.
Kemudian terhadap pertanyaan Saudari, akan kami uraikan sebagai berikut :
Dasar hukum yang dijadikan rujukan yaitu :
Demikian jawaban kami sampaikan, dan apabila Saudari masih memiliki pertanyaan lain yang ingin disampaikan, Saudari dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Tinggi Papua secara gratis.
Bagaimana cara menuntut pengembalian