Supported by PT. Telkom Indonesia
Senin, 23 Des 2024
Quality | Integrity | No Fees
2023-01-28 16:06:00
Hutang Piutang
LELANG HAK TANGGUNGAN

berawal adanya perjanjian kredit usaha mikro suami diketahui juga oleh istri tahun 2015 tanggungan rumah beserta tanah.Singkat cerita pertengahan jalan akhir Tahun 2016 terjadi perceraian atas putusan pengadilan bercerai dengan hak asuh anak oleh istri dan tinggal dirumah sebagai jaminan kredit.

  • Adanya peringatan ke II (dua) , pada inti surat dimaksud debetur telah menunggak kredit sebagaimana dimaksud.
  • Pihak  Bank  memberitahukan kepada debitur via dalam hal ini mantan istri beserta anak - anak untuk segera melakukan pengosongan rumah (jaminan Agungan kredit) dikarenakan agunan kredit akan dilelang antara bulan Nopember – Desember 2017 ( waktu lupa ),sehingga saya beserta anak -anak menuruti kehendak pihak Bank mengosongkan rumah.
  • selang berikutnya pihak bank memanggil kembali  dalam hal ini mantan istri, Kembali mengisi rumah (jaminan Agungan kredit), bersyarat membantu cicilan tunggakan debitur tidak terikat ,sayapun menyanggupi persyaratan dimksdkan.
  • mendapatkan pemberitahuan adanya keringanan pelunasan kredit,sayapun menyanggupi pelunasan dimaksud.
  • Pelunasan dimaksud telah dilakukan, saya mau mencoba permohonan pengembalian sertifikat tanah yang diagungkan,pihak bank berpesan jika mau mengambil sertifikat tanah harus mantan suami atau kuasa dari mantan suami.
  • seiring waktu terjadi dialog perihal pengembalian sertifikat tanah,sayapun cukup menjelaskan tidak memungkinkan menghadirkan mantan suami untuk mengambilkan sertifikat tanah.sementara beban pelunasan cicilan saya mantan istri yang menanggung semuanya dengan pertimbang anak anak mau tinggal dimana.
  • Namum pihak Bank bersikekeh jtidak bisa menyerahkan sertifikat  tanpa kehadiran mantan suami sebagai debiturnya.
  • namun dikarenakan tidak ada kesepahaman antara pihak Bank dengan saya akhirnya pihak bank mengembalikan uang pelunasan melalui transfer kerekening saya.
  • Berjalan waktu lagi - lagi pihak Bank meminta rumah akan dilelang dikarenakan debitur ingkar janji / wanpretasi,sayapun keberatan atas pemohonan pengosongan rumah karena akan dilelang.
  • Pemberitahuan lanjutan rumah akan dilelang oleh KPKNL ,sayapun keberatan atas lelang dengan mengajukan permohonan bukti dasar persyaratan pemenuhan Lelang kepada pihak Bank ,namun tidak ditanggapi.
  • Dengan tidak ditanggapi akhirnya saya memberanikan diri mengajukan somasi dan pengaduan dengan harapan dapt diselesai sebagaimana semestinya, namun dari somasi dan pengaduan tidak juga direspon dengan baik tetap berkeingan ingin melelang hak tanggungan.

PERTANYAAN

  1. dari rangkian peristiwa dimaksud,Apakah perbuatan pihak kreditur Bank tidak menyalahi aturan dimaksud.
  2. Perlu diketahui juga salinan perjanjian kredit tidak diberikan kepada debitur dan bukti sertifikasi dari pertanahan bukti hak tanggungan.
  3. Apakah saya salah pasca pemgembalian pelunasan kredit tidak lagi mencicil tunggakan kredit, karena sia-sia saja mencicil hingga lunas akhirnya bermasalah lagi pengambilan sertifikat.
  4. solusi apa yang terbaik buat saya mantan istri yang ditinggalkan beban kredit menginggat rumah jaminan menjadi tumpua berlindung hidup.

demikian pengajuan pertanyaannya dibuat,diucapkan terima kasih

 

Dijawab tanggal 2023-02-03 09:49:06+07

Sebelumnya kami ucapkan terimakasih atas kepercayaan kepada Tim HALO JPN untuk mendiskusikan permasalahan perdata yang Saudari alami, sebelum menjawab permasalahan Saudari kami akan menyampaikan beberapa hal tentang hukum perikatan dan kredit yang berlaku di Indonesia : 

 

Pada dasarnya perjanjian dilakukan dengan itikad baik (good faith). Dan perjanjian itu bersifat memaksa (imperatif). Perjanjian merupakan bentuk perikatan hukum. Pasal 1233 KUHPerdata, “Perikatan, lahir karena suatu persetujuan/perjanjian atau karena undang- undang”. Pasal 1234 KUHPerdata, berbunyi: “Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum perdata yang diatur dalam Pasal 1313  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata  (“KUHPerdata”) terjemahan Prof. Subekti, yang didefinisikan sebagai berikut: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” Dalam melakukan perjanjian kedua belah pihak sebagai subyek hukum, harus memenuhi syarat syahnya suatu perjanjian menurut hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, terdapat empat syarat (kumulatif) yang diperlukan agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah secara hukum, yaitu: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 3. Suatu hal tertentu. 4. Suatu sebab yang halal. Sehingga apabila keempat syarat tersebut terpenuhi maka perjanjian yang telah dibuat, adalah sah. Sehingga kedua belah pihak harus memenuhi perjanjian tersebut. Akibat perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang (asas pacta sun servanda).

Pasal 1338 KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. “Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik” Secara khusus, mengenai perjanjian utang-piutang sebagai perbuatan pinjam-meminjam diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata, yang berbunyi: “Pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama.” Dengan demikian, pengertian/definisi pinjam-meminjam menurut Pasal 1754 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah uang yang sama dengan jenis dan mutu yang sama pula. 

Berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata terkait perjanjian antara suami Saudari dengan Pihak Bank, maka kedua belah pihak terikat untuk menunaikan hak dan kewajiban masing-masing sesuai perjanjian. Karena perjanjian tersebut berlaku sebagai undang-undang. Sehingga apabila perjanjian tidak dilaksanakan dengan baik maka berarti terjadi cedera janji/ingkar janji (wanprestasi). Apa itu “wanprestasi” atau ingkar janji. Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan debitur baik karena kesengajaan atau kelalaian. Wanprestasi diatur pada Pasal 1238 KUHPerdata, debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan apa yang telah ditentukan. Bentuk-bentuk wanprestasi : a. Tidak melaksanakan prestasi sama sekali; b. Melaksanakan tetapi tidak tepat waktu (terlambat); c. Melaksanakan tetapi tidak seperti yang diperjanjikan; dan d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Tatacara Menyatakan debitur wanprestasi 1. Sommatie: Peringatan tertulis dari kreditur kepada debitur secara resmi melalui Pengadilan Negeri. 2. Ingebreke Stelling: Peringatan kreditur kepada debitur tidak melalui Pengadilan Negeri.

Berdasarkan Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, yang dimaksud dengan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 

Pihak Bank dalam memberikan kredit tidak pernah menginginkan bahwa kredit yang diberikan akan menjadi kredit yang bermasalah, dan untuk keperluan itu pihak Bank akan melakukan segala upaya preventif yang ditujukan untuk mencegah agar kredit tidak bermasalah,
namun tidak mustahil apabila kredit pada akhirnya bermasalah, dan hal yang terburuk
mengakibatkan kredit macet. Kredit Macet adalah suatu keadaan dimana seorang nasabah
tidak mampu membayar lunas kredit Bank tepat pada waktunya. Kredit yang dikategorikan
sebagai kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL) adalah apabila kualitas kredit
tersebut tergolong pada tingkat kolektibilitas kurang lancar, diragukan atau macet.

Untuk mengatasi kredit bermasalah, Bank dapat menempuh dua cara atau strategi
yaitu dengan penyelamatan kredit dan penyelesaian kredit. Mengenai penyelamatan kredit
bermasalah dapat dilakukan dengan berpedoman kepada Surat Edaran Bank Indonesia
Nomor : 26/4/BPPP tahun 1993 tentang Kualitas Aktiva Produksi dan Pembentukan
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produksi tertanggal 29 Mei 1993 yang pada prinsipnya
mengatur penyelamatan kredit bermasalah sebelum diselesaikan melalui lembaga hukum
adalah melalui alternatif penanganan secara penjadwalan kembali (rescheduling),
persyaratan kembali (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring). Dalam hal
penyelamatan kredit menggunakan restrukturisasi (penataan kembali) Bank dapat
memberikan penyertaan modal sementara sebagaimana ditentukan dalam ketentuan pasal 7
huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Sedangkan mengenai penyelesaian kredit bermasalah dapat dikatakan merupakan
langkah terakhir yang dapat dilakukan setelah langkah-langkah penyelamatan sebagaimana
diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/4/BPPP tahun 1993 tentang Kualitas
Aktiva Produksi dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produksi yang berupa
restrukturisasi tidak efektif lagi. Dikatakan sebagai langkah terakhir karena penyelesaian
kredit bermasalah melalui lembaga hukum yang memang memerlukan waktu yang relatif
lama, dan bila melalui badan peradilan maka kepastian hukumnya baru ada setelah
memiliki kekuatan hukum tetap (inkraacht van bewijs). Mengingat penyelesaian melalui
badan peradilan itu memerlukan waktu yang sangat panjang, maka penyelesaian kredit
bermasalah itu dapat pula melalui lembaga-lembaga lain yang kompeten dalam membantu menyelesaikan kredit bermasalah.

Membaca kronologis permasalahan yang Saudari ajukan yakni “berawal adanya perjanjian kredit usaha mikro suami diketahui juga oleh istri tahun 2015 tanggungan rumah beserta tanah” dapat kami simpulkan bahwa pada saat mantan suami Saudari mengajukan kredit kepada Bank dengan disertai agunan berupa rumah beserta tanah tersebut, sudah memperoleh izin dari Saudari, sebagaimana pendapat Usanti, Trisadini Prasastinah & Bakarbessy Leonora dalam bukunya yang berjudul “Hukum Jaminan” menyatakan bahwa diperlukan persetujuan dari pihak suami maupun istri untuk melakukan perjanjian kredit. Persetujuan suami istri dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepada Bank atau Kreditur bahwa tidak akan ada sanggahan atau tuntutan dari suami atau istri
terhadap Akta Pembuatan Hak Tanggungan (APHT) di waktu yang akan datang. Suami atau istri tersebut walaupun cakap, pada asasnya yang berhak menjaminkan bendanya adalah pemilik benda (orang yang berwenang untuk bertindak karena perbuatan menjaminkan sebagai langkah awal dari pengasingan benda tersebut). Hal ini sesuai dengan asas Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet bahwa tak seorangpun dapat mengalihkan lebih banyak haknya daripada yang ia miliki atau orang yang melakukan perbuatan hukum harus sesuai dengan kewenangannya. Hal tersebut diatur juga dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menentukan bahwa “Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”.

Anda mengatakan bahwa yang dijadikan agunan adalah Sertifikat tanah, Kami beranggapan bahwa sertifikat tanah yang Anda maksud adalah sertifikat hak atas tanah yaitu Sertifikat Hak Milik yang dijaminkan dengan hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (“UU Hak Tanggungan”).

Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU Hak Tanggungan, hak tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut :

  1. hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
  2. dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
  3. pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
  4. hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.

melihat pada ketentuan di atas, hak tanggungan tersebut hapus karena Anda sudah melunasi utang suami Saudari.

 

Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UU Hak Tanggungan, setelah hak tanggungan hapus, Kantor Pertanahan mencoret catatan hak tanggungan pada buku tanah hak atas tanah dan sertifikatnya. Dengan hapusnya hak tanggungan, sertifikat hak tanggungan tersebut akan ditarik dan bersama-sama buku tanah hak tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan (Pasal 22 ayat (2) UU Hak Tanggungan).

Namun sebelum sampai pada tahapan penghapusan hak tanggungan, karena sertifikat yang dijadikan agunan pada Bank adalah atas nama debitur dalam hal ini suami Saudari, maka sudah selayaknya berdasarkan hukum pengambilan sertifikat tersebut dengan hadirnya suami Saudari atau dengan Surat Kuasa dari suami Saudari. Kemudian karena Saudari tidak memungkinkan menghadirkan mantan suami untuk mengambil sertifikat tanah, sementara beban pelunasan cicilan Saudari sebagai mantan istri yang menanggung semuanya dengan pertimbanga anak-anak mau tinggal dimana, saran kami adalah untuk dilakukan pembicaraan secara kekeluargaan dengan suami Saudari atau dapat juga dimintakan Penetapan Pengadilan yang menyatakan bahwa terhadap sertifikat tanah tersebut oleh suami Saudari diserahkan kepada Saudari, sehingga dapat Saudari jadikan sebagai dasar untuk mengambil sertifikat tanah yang dijadikan agunan tersebut.

Saudari mengatakan dikarenakan tidak ada kesepahaman antara pihak Bank dengan Saudari akhirnya pihak Bank mengembalikan uang pelunasan melalui transfer ke rekening Saudari. Terhadap fakta ini Saudari tidak menjelaskan secara rinci mengenai pengangsuran tunggakan suami Saudari ke Bank melalui rekening kredit suami Saudari atau melalui rekening tabungan suami Saudari, sehingga kami berasumsi angsuran yang Saudari bayarkan untuk pelunasan tunggakan kredit suami Saudari adalah masuk ke dalam rekening penampungan Bank, karena tanpa seijin dari suami Saudari selaku Debitur, terhadap pelunasan tersebut pihak Bank tidak dapat secara sepihak menyetorkan/mengembalikan ke dalam rekening Saudari.

 

Kemudian terhadap pertanyaan Saudari, akan kami uraikan sebagai berikut :

 

  1. Apakah perbuatan pihak Bank tidak menyalahi aturan dimaksud?                                                                              Pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan dalam suatu perjanjian kredit bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak dalam memanfaatkan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan kredit.                                                                             Apabila terjadi perceraian, terhadap harta bersama akan dibagi sama banyak atau seperdua bagian antara suami dan istri, hal ini dapat dilakukan langsung atau dengan bantuan pengadilan. Mengenai harta bersama, suami dan isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Hal ini berarti wewenang atau kekuasaan atau hak suami dan isteri sama besarnya. Oleh karena itu suami atau isteri dapat menggunakan atau melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama mereka. Demikian halnya apabila dalam masa pembayaran angsuran kredit terjadi perceraian, dalam hal ini, pemenuhan hutang menjadi tanggung jawab bersama bila masih dapat diangsur sampai lunas karena termasuk kewajiban bersama. Bertitik tolak kepada permasalahan yang ada hendaknya dalam menangani masalah kredit macet pihak bank perlu mengupayakan penyelesaian secara damai oleh kedua belah pihak dalam hal ini dengan melaksanakan penyelamatan kredit, antara lain melalui penjadwalan kembali (reschedulling), persyaratan kembali (reconditioning), dan penataan kembali (restructuring) atau mungkin dapat melalui upaya alternatif penyelesaian sengketa seperti negosiasi, konsiliasi, mediasi atau arbitrase. Adanya aturan hukum mengenai pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan dalam suatu perjanjian kredit bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak dalam memanfaatkan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan kredit. Untuk itu, praktik pengikatan kredit dengan jaminan Hak Tanggungan dalam kegiatan perbankan hendaknya dapat pula dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah diatur dalam Undang Undang Hak Tanggungan, sehingga pelaksanaannya dapat memperoleh jaminan kepastian hukum yang kuat. Dengan demikian Bank keliru ketika mengambil tindakan dengan mengembalikan uang yang telah disetor oleh debitur dan melakukan upaya lelang melalui KPKNL tanpa seijin dari debitur dalam hal ini saumi saudara, hal tersebut jelas bertentangan dengan nurani dan norma kepatutan masyarakat.
  2. Sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan pasal 10 ayat (1) UU Hak Tanggungan, dimana perjanjian pemberian hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan suatu hutang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang. Nantinya pembebanan hak tanggungan akan dituangkan dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dalam implementasinya hak tanggungan wajib memenuhi 2 (dua) asas, antara lain: Asas Spesialitas dan Asas Publisitas. Dengan demikian salinan perjanjian kredit dan bukti sertifikasi dari pertanahan seharusnya diketahui juga oleh Debitur dalam hal ini adalah suami Saudari. Apabila pihak Bank tidak memenuhi ketentuan tersebut tersebut maka pihak Bank selaku Kreditur telah keliru menerapkan UU Hak Tanggungan.
  3. Saudari selaku mantan isteri Debitur tidak salah pasca pengembalian pelunasan kredit karena hal tersebut menunjukan adanya itikad baik untuk memenuhi kewajibannya meskipun yang menikmati dana pinjaman tersebut belum tentu Saudari.
  4. Solusi yang dapat kami berikan kepada Saudari antara lain :
  • Menempuh jalur secara kekeluargaan dengan pihak Bank dengan tetap mempertahankan aset rumah dan tanah yang menjadi objek/jaminan hak tanggungan, karena Debitur telah menunjukan itikad baik untuk melunasi pinjaman kredit, yakinkan pihak Bank bahwa apa yang dilakukannya untuk memproses lelang eksekusi melalui KPKNL adalah keliru dan melanggar UU karena objek hak tanggungan tersebut tidak pernah di daftarkan ke Pertanahanan sesuai amanat pasal  13 ayat (1) dan ayat (2) UU Hak Tanggungan jo pasal 14 ayat (1) UU Hak Tanggungan.
  • Melakukan pembicaraan secara kekeluargaan dengan mantan suami Saudari, membuat akta dihadapan Notaris, atau dapat juga dimintakan Penetapan Pengadilan yang menyatakan bahwa terhadap sertifikat tanah tersebut oleh suami Saudari diserahkan kepada Saudari, sehingga dapat Saudari jadikan sebagai dasar untuk mengambil sertifikat tanah yang dijadikan agunan tersebut.
  • Apabila pihak Bank bersikukuh melakukan pelelangan terhadap obyek agunan, maka Saudari dapat mengadukan perbuatan pihak Bank tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau Saudari juga dapat melakukan gugatan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Dasar hukum yang dijadikan rujukan yaitu : 

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);
  2. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Berserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah.  
  3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
  4. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
    Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
  5. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/4/BPPP tahun 1993 tentang Kualitas Aktiva Produksi dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produksi tertanggal 29 Mei 1993.

 

Demikian jawaban kami sampaikan, dan apabila Saudari masih memiliki pertanyaan lain yang ingin disampaikan, Saudari dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Tinggi Papua secara gratis.

Jika anda kurang puas dengan jawaban ini, silakan berkonsultasi lebih lanjut dengan Jaksa Pengacara Negara pada
KT. PAPUA
Alamat : Jalan Anggrek No.6 Tanjung Ria Base G, Kota Jayapura
Kontak : 85387268100

Cari

Terbaru

Hutang Piutang
Hutang Orang Tua

Ayah saya dulu meminjam uang ke bank

Hukum Waris
Tanah Warisan Tidak Bersertifikat

Kami memiliki sebidang tanah yang ber

Hutang Piutang
Apakah pesan WhatsApp bisa dijadikan bukti perjanjian utang piutang?

Bagaimana cara menuntut pengembalian

Hutang Piutang
Teman Saya Meminjam Uang Pakai Nama Saya

Halo Bapak/Ibu saya ingin bertanya.

Hubungi kami

Email us to [email protected]

Alamat

Jl. Sultan Hasanuddin No.1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan - Indonesia
© 2024 Kejaksaan Republik Indonesia.