Selamat siang bapak/ibu jaksa. Saya mau konsultasi terkait permasalahan pribadi saya. Pada tanggal 8 Desember 2022 orang tua saya ada meminjam uang kepada saya sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dimana dia berjanji akan membayar dengan cara mencicil selama 10 kali tiap bulannya sebesar Rp. 12.000.000,- (dua belas juta). Karena yang meminjam orang tua kandung saya sendiri sehingga saya tidak ada membuat perjanjian terkait pinjam meminjam tersebut. Bulan Januari dan Februari orang tua saya selalu bayar masing-masing senilai yang disepakati. Namun pada bulan Maret lalu orang tua saya mengatakan tidak sanggup untuk membayar bahkan orang tua saya mengatakan anggap aja itu biaya yang sudah mereka keluarkan untuk membesarkan saya. Saya mohon arahan dari bapak ibu Jaksa sekiranya langkah apa yang dapat saya tempuh terkait masalah saya tersebut mengingat uang tersebut sangat besar bagi saya.
Selamat sore Bapak/Ibu terimakasih telah menggunakan layanan aplikasi Hallo Jpn Kejaksaan Negeri Langkat Berikut ulasan terkait pertanyaan atau permasalahan Bapak/Ibu
Ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya suatu Perjanjian, untuk sahnya suatu perjanjan diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Berdasarkan ketentuan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian tersebut, tidak ada satu pun syarat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengharuskan suatu perjanjian dibuat secara tertulis. Dengan kata lain, suatu Perjanjian yang dibuat secara lisan juga mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya, namun demikian, dalam proses pembuktian suatu perkara perdata, lazimnya alat bukti yang dipergunakan oleh pihak yang mendalilkan sesuatu (Vide Pasal 164 HIR) adalah alat bukti surat. Hal ini karena dalam suatu hubungan keperdataan, suatu surat/akta memang sengaja dibuat dengan maksud untuk memudahkan proses pembuktian, apabila di kemudian hari terdapat sengketa perdata antara pihak-pihak yang terkait.
Di dalam hukum acara perdata mengatur bagaimana cara menegakkan hukum perdata materiil, terdapat 5 (lima) alat bukti yang diatur dalam Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)dan Pasal 164 HIR Alat-alat bukti tersebut terdiri dari:
a. Bukti tulisan,
b. Bukti dengan saksi,
c. Persangkaan,
d. Pengakuan, dan
e. Sumpah.
Jadi apabila seseorang ingin menuntut pihak lain oleh karena tidak membayar hutang berdasarkan adanya suatu perjanjian utang-piutang secara lisan ke Pengadilan, maka orang (Penggugat) tersebut dapat mengajukan alat bukti saksi yang dapat menerangkan adanya perjanjian utang-piutang secara lisan tersebut disertai alat bukti lain yang mendukung adanya perjanjian lisan tersebut, misalnya bukti transfer atau kuitansi bermeterai, dan lain sebagainya.
Dalam hal seorang Penggugat mengajukan saksi untuk menguatkan dalil mengenai adanya suatu perjanjian utang-piutang secara lisan, maka dalam Pasal 1905 KUH Perdata ditegaskan sebagai berikut:
Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain, di muka Pengadilan tidak boleh dipercaya
Artinya bahwa satu orang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan suatu peristiwa atau perjanjian, karena terdapat batas minimal pembuktian dalam mengajukan alat bukti saksi, yaitu paling sedikit dua orang saksi, atau satu orang saksi disertai dengan alat bukti yang lain, misalnya adanya pengakuan dari pihak lawan yang membuat perjanjian tersebut atau terbukti bahwa pihak sudah ada sebagian utang yang dicicil kepada Penggugat tersebut.
Jadi kesimpulannya adalah apabila melakukan perjanjian lisan, maka pastikan beberapa hal ini dilakukan:
Mengapa hal-hal yang disebutkan ini penting? Karena meskipun secara aturan hukum atau Undang-Undang mengatur bahwa perjanjian lisan pun diakui dan dapat disidangkan, tetapi tidak sedikit kasus yang mengalami kekalahan hanya karena tidak memilik bukti tertulis yang kuat (misalnya tidak ada perjanjian tertulis dan tidak ada bukti transfer atau kuitansi, atau ada kuitansi tapi keterangannya tidak ditulis untuk apa uang tersebut diberikan sehingga bisa saja ada penyangkalan dari lawan dan si lawan bisa saja mengatakan uang tersebut diberikan secara cuma-cuma) dan tidak memiliki saksi yang benar-benar mengetahui kejadian atau permasalahan tersebut. kalaupun ada, saksi tersebut adalah pasangan atau orangtua yang secara hukum mereka tidak bisa dijadikan saksi untuk didengar keterangannya. Selain dari pada itu kami menyaran kan Bapak/ Ibu menyelesaikannya secara kekeluargaan.
Bagaimana cara menuntut pengembalian