Selamat pagi bapak/ibu Jaksa
Saya ingin bertanya terkait persoalan yang sedang saya alami dimana sebelumnya saya pernah melakukan perjanjian kemudian hingga saat ini perjanjian itu tidak dilaksanakan dan belum mendapatkan solusi, apakah jika seorang melanggar perjanjian dapat dikenakan pidana?
Terimakasih
Terimakasih atas kepercayaan Saudara kepada layanan halo JPN Kantor Kejaksaan Ngeri Kepulauan Yapen. Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara adalah sebagai berikut :
Sebagaimana Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) berbunyi : Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Menurut definisinya, wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan debitur baik karena kesengajaan atau kelalaian. Wanprestasi diatur pada Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan, Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Merujuk pada Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), telah mengatur yakni Tidak seorang pun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang. Namun kadangkala tidak terpenuhinya perjanjian berujung pada pemidanaan. Prinsipnya bukan ketidakmampuan memenuhi perjanjian yang menyebabkan pemidaan tersebut tetapi adanya itikat buruk untuk merugikan orang lain.
Masalah ini sejak lama menimbulkan permasalahan hukum, kapan seseorang yang tidak memenuhi sebuah perjanjian dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi, sehingga penyelesaian perkaranya dilakukan secara perdata, dan kapan seseorang dikatakan telah melakukan penipuan sehingga penyelesaian perkaranya dilakukan secara pidana.
Untuk menjawab masalah tersebut, Mahkamah Agung telah menetapkan kaidah hukum yang dituangkan dalam Yurisprudensi No. 4/Yur/Pid/2018 yang pada intinya menyebutkan : Para pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan, namun wanprestasi yang masuk dalam ranah keperdataan, KECUALI JIKA PERJANJIAN TERSEBUT DIDASARI DENGAN ITIKAD BURUK/TIDAK BAIK.
Berdasarkan kaidah tersebut, pada prinsipnya pihak yang tidak memenuhi perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan melainkan wanprestasi yang masuk dalam ranah perdata, antara lain ditemukan dalam yurisprudensi berikut ini :
Putusan No. 598 K/Pid/2016 (Ati Else Samalo) : Terdakwa terbukti telah meminjam uang kepada saksi Wa Ode Ikra binti La Ode Mera (saksi korban) sebesar Rp. 4.750.000,00 (empat juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah, namun terdakwa tidak mengembalikan hutang tersebut kepada saksi korban sesuai dengan waktu yang diperjanjikan, meskipun telah ditagih berulang kali oleh saksi korban, oleh karenanya hal tersebut sebagai hubungan keperdataan bukan sebagai perbuatan pidana, sehingga penyelesaiannya merupakan domain hukum perdata, dan karenanya pula terhadap terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Putusan No. 1316 K/Pid2016 (Linda Wakary) : Karena kasus ini diawali dengan adanya perjanjian jual beli antara saksi korban dengan terdakwa dan terdakwa tidak memenuhi kewajibannya dalam perjanjian itu, oleh karenanya perkara a quo adalah masuk lingkup perdata. Sehubungan dengan itu, maka terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum.
Putusan No 902 K/Pid/2017 (Asmawati) : "Bahwa perkara a quo bermula dari adanya pinjam meminjam sejumlah uang antara terdakwa dengan korban, namun pada saat jatuh tempo yang dijanjikan terdakwa tidak bisa mengembalikan pinjaman tersebut, sehingga merupakan hutang dan masuk ranah perdata, sehingga penyelesaiannya melalui jalur perdata.
Namun sesuai kaidah hukum diatas, tidak semua perbuatan tidak melaksanakan kewajiban perjanjian tidak dapat dipandang sebagai penipuan, apabila perjanjian dibuat dan didasari dengan itikad buruk/tidak baik, adanya niat jahat untuk merugikan orang lain, seperti misalnya menggunaan martabat atau keadaan palsu atau tipu muslihat, maka perbuatan tersebut bukan merupakan wanprestasi tetapi tindak pidana penipuan.
Hal tersebut antara lain terdapat dalam Putusan No. 1689 K/Pid/2015 (Henry Kurniadi) yang menyebutkan :
"Bahwa alasan kasasi terdakwa yang menyatakan kasus terdakwsa bukan kasus pidana melainkan kasus perdata selanjutnya hutang piutang, antara terdakwa dengan Astrindo Travel tidak dapat dibenarkan karena Terdakwa dalam pemesanan tiket tersebut telah menggunakan nama palsu atau jabatan palsu, hubungan hukum keperdataan yang tidak didasari dengan kejujuran, dan itikad buruk untuk merugikan orang lain adalah penipuan.
Pada intinya Yurisprudensi di atas menjelaskan, suatu wanprestasi termasuk sebagai penipuan atau masalah keperdataan harus dilihat apakah perjanjian tersebut didasari atas itikad buruk/tidak baik/ perbuatan pidana atau tidak. Jika tidak ada unsur pidana dalam perjanjiannya, maka seseorang tidak dapat dipidana karena tidak memenuhi perjanjian.
Demikian Kami sampaikan, apabila Saudara masih memiliki pertanyaan yang ingin disampaikan, Saudara dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum Kami yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Kepulauan Yapen secara gratis.
Bagaimana cara menuntut pengembalian