1. Saya telah melakukan pengikatan jual beli dengan pihak develover terhadap rumah perumahan di Daerah tempat tinggal saya. Saya sudah membayar uang booking, uang DP, serta angsurah per bulannya. Namun, sampai sekarang rumah yang saya hendak beli belum saya terima sesuai waktu yang diperjanjikan. Ternyata setelah saya mengkonfirmasi kepada pihak developer, ternyata tanah untuk perumahan merupakan tanah milik orang lain. Apakah ketentuan hukum yang dapat digunakan untuk menuntut developer tersebut?
2. Saya mendapati suami saya nikah lagi tanpa sepengetahuan saya. Apakah yang dapat saya lakukan untuk membatalkan pernikahan tersebut?
Salam Adhyaksa,
Terima kasih atas pertanyaannya.
Dari pertanyaan Anda tersebut, setidaknya Anda telah melakukan pengikatan jual beli dengan pihak develover bahkan Anda sudah melunaskan pembayaran rumah perumahan yang Anda beli dan ternyata tanah perumahan tersebut milik orang lain yang tidak ada kaitannya dengan pihak develover.
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dan yang mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif. Negara bertanggungjawab melindungi masyarakatnya melalui pemberian kepastian hukum yang adil dalam penyelenggaraan tempat tinggal sebagai hak asasi manusia. Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun (selanjutnya disebut UU 20/2011) serta Pasal 42 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (selanjutnya disebut UU 1/2011) yang mengatur syarat pelaksanaan perjanjian pengikatan jual beli rumah (umum), rumah tunggal, rumah derat, dan rumah susun, maka Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia menerbitkan Permen PUPR 11/2019 yang mengatur sistem perjanjian pendahuluan jual beli rumah. Sebagai peraturan pelaksana UU 1/2011 dan UU 11/2019, Permen PUPR 11/2019 mengatur 2 (dua) hal dalam sistem perjanjian jual beli perumahan, yakni kegiatan pemasaran yang diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 dan pelaksanaan perjanjian jual beli itu sendiri yang diatur dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 16.
Pertama, terkait perjanjian jual beli, Pasal 1 angka 1 Permen PUPR 11/2019 mendefinisikan Sistem perjanjian jual beli sebagai rangkaian proses kesepakatan antara setiap orang dengan pelaku pembangunan dalam kegiatan pemasaran yang dituangkan dalam perjanjian pendahuluan jual beli atau perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatangani akta jual beli, sedangkan dalam Pasal 1 angka 2 Permen PUPR 11/2019 mendefinisikan perjanjian pendahuluan jual beli atau perjanjian pengikatan jual beli adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli rumah atau satuan rumah susun yang dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum pembangunan untuk rumah susun atau dalam proses pembangunan untuk rumah tunggal dan rumah deret yang dinyatakan dalam akta notaris. Meskipun dalam Pasal 42 UU 1/2011 tidak mewajibkan PPJB rumah perumahan dinyatakan dalam akta notaris, namun dalam rumusan norma Pasal 1 angka 1 dan 2 Permen PUPR 11/2019 memberikan penegasan pengaturan bahwa PPJB rumah perumahan wajib dinyatakan dalam akta notaris. Secara mutatis mutandis, rumusan norma tersebut mewajibkan peran notaris dalam pembuatan PPJB rumah perumahan wajib menggunakan prinsip kehati-hatian untuk menverifikasi secara benar syarat-syarat pelaksanaan PPJB rumah perumahan antara pelaku pembangunan dengan calon pembeli sesuai dengan Permen PUPR 11/2019.
Selanjutnya, dalam Pasal 10 ayat (1) Permen PUPR 11/2019 memberikan kewajiban kepada pelaku pembangunan memenuhi beberapa ketentuan sebelum melaksanakan PPJB rumah perumahan. Ketentuan tersebut meliputi kepastian atas a) status kepemilikan tanah; b) hal yang diperjanjikan; c) kepemilikan izin mendirikan bangunan induk atau izin mendirikan bangunan; d) ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan e) keterbangunan paling sedikir 20% (dua puluh persen). Status kepemilikan tanah dibuktikan dengan sertipikat hak atas tanah yang diperlihatkan kepada calon pembeli pada saat penandatanganan PPJB. Hal yang diperjanjikan paling sedikit terdiri atas : a) kondisi Rumah; b) prasarana, sarana, dan utilitas umum yang menjadi informasi pemasaran; c) penjelasan kepada calon pembeli mengenai materi muatan PPJB; dan d) status tanah dan/atau bangunan dalam hal menjadi agunan. Kepemilikan izin mendirikan bangunan induk atau izin mendirikan bangunan disampaikan salinan sesuai asli kepada calon pembeli pada saat penandatanganan PPJB. Ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum untuk perumahan dibuktikan dengan : a) terbangunnya prasarana paling sedikit jalan dan saluran pembuangan air hujan/drainase; b) lokasi pembangunan sarana sesuai peruntukan; dan c) surat pernyataan pelaku pembangunan mengenai tersedianya utilitas umum berupa sumber listrik dan sumber air. Ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum untuk Rumah Susun dibuktikan dengan surat pernyataan dari pelaku pembangunan mengenai ketersediaan tanah siap bangun di luar tanah bersama yang akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota atau Pemerintah Daerah Provinsi khusus untuk Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dibuktikan dengan : a) untuk Rumah tunggal atau Rumah deret keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh jumlah unit Rumah serta ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum dalam suatu perumahan yang direncanakan; atau b) untuk Rumah Susun keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari volume konstruksi bangunan Rumah Susun yang sedang dipasarkan. Keterbangunan 20% (dua puluh persen) sesuai dengan hasil laporan dari konsultan pengawas pembangunan atau konsultan manajemen konstruksi. Syarat-syarat tersebut diatas merupakan syarat yang ditentukan sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan pelaku pembangunan yang secara mutatis mutandis merupakan hak yang harus diberikan kepada calon pembeli. Hal tersebut merupakan bentuk perlindungan kepada calon pembeli dari bentuk penipuan, maupun penyalahgunaan keadaan, oleh oknum pelaku pengemban.
Selain itu, dalam Pasal 12 Permen PUPR 11/2019 menyebutkan calon pembeli pembeli berhak mempelajari PPJB rumah perumahan sebelum ditandatangani paling kurang 7 (tujuh) hari kerja. Pelaku pengemban wajib menyampaikan hak calon pembeli tersebut untuk mempelajari PPJB rumah perumahan. Masih terkait PPJB rumah perumahan, Pasal 13 Permen PUPR 11/2019 merumuskan seara berimbang perihal dalam hal pembatalan pembelian rumah setelah penandatanganan PPJB karena kelalaian pelaku pembangunan maka seluruh pembayaran yang telah diterima harus dikembalikan kepada pembeli. Dalam hal pembatalan pembelian Rumah setelah penandatanganan PPJB karena kelalaian pembeli maka : a) jika pembayaran telah dilakukan pembeli paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari harga transaksi, keseluruhan pembayaran menjadi hak pelaku pembangunan; atau b) jika pembayaran telah dilakukan pembeli lebih dari 10% (sepuluh persen) dari harga transaksi, pelaku pembangunan berhak memotong 10% (sepuluh persen) dari harga transaksi. Pengaturan sistem PPJB rumah peurmahan dalam Permen PUPR 11/2019 dirasakan memberikan kepastian bagi calon pembeli sebagai konsumen yang dalam beberapa kasus pidana sering dirugikan karena ketidakmampuan secara psikologis sehingga hal tersebut disalahgunakan oleh pelaku pembangunan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dikaitkan dengan kasus yang Anda alami, maka setidaknya pihak develover yang membangun perumahan Anda belum menyelesaikan status hak atas tanahnya, padahal berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Permen PUPR 11/2019 memberikan kewajiban kepada pelaku pembangunan memenuhi beberapa ketentuan sebelum melaksanakan PPJB rumah perumahan yakni a) status kepemilikan tanah; b) hal yang diperjanjikan; c) kepemilikan izin mendirikan bangunan induk atau izin mendirikan bangunan; d) ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan e) keterbangunan paling sedikir 20% (dua puluh persen).
Apabila hal pelanggaran terhadap Pasal 10 ayat (1) Permen PUPR 11/2019 tersebut benar adanya, maka anda dapat menempuh jalur non litigasi berupa mediasi, ataupun jalur litigasi baik mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum maupun membuat laporan polisi mengenai pelanggaran Pasal 154 jo. Pasal 137 UU RI No. 1 Tahun 2011 yang berbunyi Setiap orang yang menjual satuan lingkungan perumahan atau Lisiba yang belum menyelesaikan status hak atas tanahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Anda dapat mempelajari Putusan Pengadilan Negeri Cikarang Nomor : 49/Pid.B/2020/PN.Ckr tanggal 20 April 2020 atas nama Terpidana ARIA DURMAN dan Putusan Pengadilan Negeri Cikarang Nomor : 48/Pid.B/2020/PN.Ckr tanggal 20 April 2020 atas nama Terpidana I MOCH. AFIF AZHAR dan Terpidana II SAIFUL MUMININ.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dan Untuk Pertanyaan ke Dua
Dari pertanyaan Anda tersebut,
ada 2 (dua) hal yakni suami Anda menikah lagi tanpa izin dari Anda dan upaya
apa yang dapat Anda lakukan untuk membatalkan pernikahan tersebut.
Pada dasarnya, sesuai ketentuan Pasal 1 UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, berdasarkan ketentuan tersebut, hukum Perkawinan Indonesia berasaskan monogami. Asas monogami lebih ditegaskan lagi di dalam bunyi Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatakan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Di mana seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Ini berarti sebenarnya yang disarankan oleh undang-undang adalah perkawinan monogami. Akan tetapi, UU Perkawinan memberikan pengecualian, sebagaimana dapat kita lihat Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan, yang mana Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pasal 4 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka si suami wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Dalam Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan dijelaskan lebih lanjut bahwa Pengadilan hanya akan memberikan izin kepada si suami untuk beristeri lebih dari satu jika :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Lebih lanjut, Pasal 5 ayat (1) UU Perkawina menyebutkan selain hal-hal di atas, si suami dalam mengajukan permohonan untuk beristeri lebih dari satu orang, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Pasal 5 ayat (2) UU Perkawinan menyebutkan persetujuan isteri/isteri-isterinya tidak diperlukan jika isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Anda tidak menyebutkan agama Anda. Dalam hal ini, kami akan membahasnya menurut hukum Islam. Dalam Hukum Islam pengaturan tentang poligami merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI). Ketentuan KHI menyangkut poligami tidak jauh berbeda dengan UU Perkawinan. Hanya saja di dalam KHI dijelaskan antara lain bahwa pria beristeri lebih dari satu diberikan pembatasan, yaitu seorang pria tidak boleh beristeri lebih dari 4 (empat) orang. Selain itu, dalam Pasal 55 KHI menyebutkan syarat utama seorang pria untuk mempunyai isteri lebih dari satu adalah pria tersebut harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan anak-anaknya. Menurut Pasal 56 KHI, suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama. Jika perkawinan berikutnya dilakukan tanpa izin dari Pengadilan Agama, perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Sama seperti dikatakan dalam UU Perkawinan, menurut Pasal 57 KHI, Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang jika :
a. istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selain alasan untuk menikah lagi harus jelas, Kompilasi Hukum Islam juga memberikan syarat lain untuk memperoleh izin Pengadilan Agama. Syarat-syarat tersebut juga merujuk pada Pasal 5 UU Perkawinan, yaitu : (Pasal 58 KHI)
a. adanya persetujuan istri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
Pasal 58 KHI ini juga merujuk pada Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut PP 9/1975), yang mengatakan bahwa persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka apabila Anda beragama Islam, maka Anda dapat melakukan gugatan ke Pengadilan Agama. Jika Anda tidak mau memberikan persetujuan, maka berdasarkan Pasal 59 KHI yang menyebutkan Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 43 PP 9/1975 yang menyatakan bahwa: Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang. Izin berpoligami oleh Pengadilan Agama dapat diberikan apabila alasan suami telah memenuhi alasan-alasan alternatif sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan dan syarat-syarat kumulatif yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan sebagaimana tersebut di atas. Kedudukan izin untuk berpoligami menurut ketentuan di atas adalah wajib, sehingga apabila dilakukan tanpa lebih dahulu mendapat izin, maka perkawinan itu tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan demikian perkawinan itu juga tidak sah karena dianggap tidak pernah telah terjadi.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
3. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Bagaimana cara menuntut pengembalian