Bagaimana penyelesaian sengketa tumpang tindih tanah antara hak atas tanah dengan wilayah pertambangan?
beberapa penyebab sengketa tumpang tindih hak atas tanah dengan wilayah pertambangan antara lain karena masih banyak tanah belum terdaftar, belum disadarinya kedudukan sertifikat sebagai tanda bukti, proses pewarisan yang tidak tuntas, akibat ulah mafia tanah, hingga kurang cermatnya sebagian kecil notaris dan PPAT dalam menjalankan tugasnya.
alur penyelesaian hak atas tanah dalam wilayah pertambangan yaitu sebagai berikut.
Pemilik hak atas tanah dan perusahaan melakukan negosiasi di mana:
Perusahaan yang akan menjalankan kegiatan tambang melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang akan terkena dampak tambang bersama Kepala Desa/Camat/Badan Pertanahan Nasional (BPN) kabupaten setempat.
Inventarisasi hak atas tanah yang akan terkena dampak.
Verifikasi surat-surat hak atas tanah oleh lembaga yang bewenang oleh Kepala Desa/Camat dan BPN.
Mediasi patokan harga ganti rugi atau model lainnya sebagai kompensasi dihitung dari luasan tanah dan/atau benda yang berada di atas tanah yang akan diusahakan pertambangan.[9]
Bila tidak tercapai kesepakatan, dilakukan mediasi oleh pemerintah daerah untuk penetapan patokan ganti rugi.
Jika masih tidak tercapai kesepakatan, mediasi dilanjutkan oleh menteri dengan cara:
Mengajukan surat permohonan dari pemilik lahan/perusahaan kepada Kementerian ESDM c.q. Ditjen Minerba.
Kementerian ESDM c.q. Ditjen Minerba memanggil perusahaan dan pemilik lahan untuk inventarisasi permasalahan bersama dengan BPN dan kementerian/lembaga terkait.
Jika masih tidak tercapai kesepakatan, pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan baik gugatan tata usaha negara maupun perdata.