Saya punya dua pertanyaan. Pertama, kalau istri meminjam uang dengan membuat perjanjian dengan pemilik dana tanpa sepengetahuan suami, apakah suami bertanggung jawab atas utang itu? Kedua, kalau istri menjaminkan harta gono gini (rumah) karena meminjam uang tapi suami tidak mengetahui Perjanjian utang piutang tersebut, apakah rumah bisa disita untuk melunasi utang tersebut?
Terima kasih atas kepercayaan Saudara kepada layanan halo JPN. Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara adalah sebagai berikut :
Harta Benda dalam Perkawinan
Dalam perkawinan, dikenal dengan adanya harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Mengenai harta bersama ini, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak
Sementara itu, harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri sebelum perkawinan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan; dan berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang suami dan istri tidak menentukan lain. Atas harta bawaan ini, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum.
Mengenai utang dalam perkawinan, dibedakan menjadi dua, yaitu utang pribadi dan utang persatuan ( atau suatu utang untuk keperluan bersama).
Untuk suatu utang pribadi harus dituntut suami atau istri yang membuat utang tersebut, sedangkan yang harus disita pertama-tama adalah benda pribadi. Apabila tidak terdapat benda pribadi atau ada tetapi tidak mencukupi, maka dapatlah benda bersama disita juga. Akan tetapi, jika itu adalah utang suami, benda pribadi istri tidak dapat disita, dan begitu pula sebaliknya.
Sedangkan untuk utang persatuan, yang pertama-tama harus disita adalah benda bersama dan apabila tidak mencukupi, maka benda pribadi suami atau istri yang membuat utang itu disita pula.
Dalam hal ini, utang pribadi yang bisa dimintai pelunasannya dari harta bersama adalah utang pribadi yang berasal dari perjanjian utang piutang dengan persetujuan pasangan. Ini merupakan hal yang logis karena utang yang dibuat oleh suami/istri dapat berdampak pada harta bersama apabila utang tersebut tidak dapat dilunasi, dan untuk bertindak atas harta bersama diperlukan persetujuan pasangan.
Jika yang bersangkutan beragama islam bisa menggunakan ketentuan dlm Kompilasi Hukum Islam (KHI), sbgmn diatur dlm Pasal 92 dan Pasal 93, yakni pasal 92 mengatur bahwa suami isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Pasal 93 terdiri dari 4 ayat (1) pertanggung jawaban terhadap hutang suami isteri dibebankan kepada hartanya masing-masing; (2) pertanggung jawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama; (3) bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami; (4) bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri.
Oleh karena itu, utang yang dibuat oleh istri tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan suami, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada harta suami (utang pribadi tidak dapat diambil pelunasannya dari harta pribadi pasangan), dan tidak dapat diambil pelunasannya dari harta bersama (akibat tidak adanya persetujuan).
Mengenai penjaminan rumah (harta gono gini atau harta bersama), Berkaitan dengan penjelasan mengenai harta bersama di atas, maka penjaminan rumah tanpa sepengetahuan suami (tidak ada persetujuan suami) berakibat penjaminan rumah tersebut tidak sah, karena belum ada persetujuan suami maka tindakan seorang istri yang membuat perjanjian atas harta bersama adalah tidak sah menurut hukum.
Kemudian, jika dihubungkan dengan syarat perjanjian (kesepakatan untuk mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat perikatan, suatu pokok persoalan tertentu, dan suatu sebab yang tidak terlarang), perjanjian penjaminan rumah yang dibuat dapat dianggap cacat hukum karena perjanjian dibuat tanpa persetujuan dari suami. Hal ini terjadi karena tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian, yaitu mengenai suatu sebab yang tidak terlarang.
Dalam Pasal 1337 KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Sementara, ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan mengharuskan penggunaan harta bersama dilakukan suami atau istri atas dasar persetujuan kedua belah pihak. Artinya Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan melarang penggunaan harta bersama tanpa persetujuan dari pasangan suami/istri.
Karena tidak ada persetujuan pasangan, penjaminan rumah tidak sah menurut hukum. Berkaitan dengan ini, dapat diterangkan bahwa rumah tersebut tidak dapat dieksekusi apabila istri tidak dapat membayar utangnya
Demikian Kami sampaikan, apabila Saudara masih memiliki pertanyaan lain yang ingin disampaikan, Saudara dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum Kami yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Bitung secara Gratis.
Demikian Jawaban Kami Semoga Bermanfaat.