Saya seorang wanita yang bekerja sebagai karyawan swasta, calon suami saya juga bekerja sebagai karyawan swasta dengan jabatan manajer. Kami memutuskan menikah, tapi calon mertua saya menghendaki kami untuk menandatangani perjanjian pisah harta, karena itu merupakan salah satu syarat untuk mendapat restu mereka. Saya dan calon suami sebetulnya tidak ingin membuat perjanjian pisah harta. Yang ingin saya tanyakan:
Perihal harta dalam perkawinan Pasal 35 UU Perkawinan menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan harta bawaan dari masing-masing suami dan istri serta harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dari ketentuan tersebut dapat dikatakan harta atau aset yang diperoleh sebelum menikah adalah menjadi milik masing-masing, sehingga tidak termasuk harta bersama, kecuali ditentukan lain oleh pasangan yang bersangkutan Kemudian, benar seperti yang Anda katakan, harta bersama adalah yang diperoleh setelah perkawinan.
Menurut hemat kami, tanpa adanya perjanjian sekalipun, harta yang diperoleh sebelum perkawinan memang adalah milik masing-masing suami atau istri seperti halnya ketentuan UU Perkawinan yang disebutkan.
Kemudian, membahas soal perjanjian perkawinan sebagaimana Anda tanyakan, ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan jo. Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 mengatur sejumlah hal sebagai berikut.
Merujuk pada ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan di atas, perjanjian perkawinan dibuat atas persetujuan bersama calon suami dan calon istri. Jadi, pihak yang mengadakan perjanjian adalah calon suami dan calon istri. Tidak seharusnya calon mertua yang menentukan perjanjian perkawinan tersebut.
Selain itu, perjanjian tidak dapat dibuat atas dasar paksaan. Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah kesepakatan, yang berarti konsensus untuk seia sekata (consensual) di antara para pihak. Dalam arti, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lainnya. Tidak ada unsur-unsur kekhilafan (dwaling), tidak karena paksaan (dwang) dan juga bukan karena penipuan (bedrog) dari satu pihak terhadap pihak lainnya secara bertimbal-balik. Apabila syarat sepakat ini tidak terpenuhi (dengan adanya paksaan), perjanjian perkawinan tersebut dapat dibatalkan (voidable).
Kemudian, dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan di atas disebutkan bahwa selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Merujuk ketentuan tersebut, jelas bahwa sebenarnya bisa saja kemudian perjanjian perkawinan tersebut diubah tanpa sepengetahuan mertua Anda asalkan ada persetujuan dari suami Anda kelak.
Namun, menurut hemat kami, adalah lebih tepat jika Anda dan calon suami Anda menjelaskan bahwa Anda dan pasangan menginginkan harta yang diperoleh setelah perkawinan menjadi harta bersama.