Saudara jauh saya sebelumnya dijanjikan akan dinikahi oleh pasangannya yang bernama Abdul akan tetapi karena kondisi yang mendesak dan saudara jauh saya yang sudah hamil besar memutuskan untuk dinikahi siri oleh pasangannya, 5 tahun kemudian mereka berpisah dan ternyata Abdul telah memiliki anak dengan pasangan yang lain namun melalui pernikahan yang sah, apakah anak dari saudara jauh saya bisa menjadi ahli waris atas pernikahan siri tersebut?
Terimakasih atas pertanyaan yang diajukan Pemohon dan kepercayaannya kepada pelayanan hukum HALOJPN.
Dasar hukum :
Perkawinan siri merupakan perkawinan yang sah menurut Hukum Islam, tetapi menurut hukum perdata menjadi tidak sah karena tidak dicatatkan. Perkawinan yang tidak dicatatkan akan dianggap tidak pernah terjadi. Karena hal tersebut, kedudukan anak hasil perkawinan siri sama dengan anak luar kawin. Pencatatan identitas anak hasil perkawinan siri tersebut hanya mencantumkan nama ibu saja tanpa adanya identitas dari ayah karena ia hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya saja. Menurut Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam, Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang selanjutanya disebut sebagai UU Perkawinan menyebutkan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” Namun, perkawinan tersebut harus dilaporkan dan dicatat di Kantor Urusan Agama atau di Catatan Sipil bagi yang bukan beragama Islam. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang menyatakan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Begitu pula di dalam Pasal 5 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa :
1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954.
Tanpa adanya pencatatan tersebut, maka anak yang lahir dari pernikahan siri hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya atau keluarga ibunya. Pasal 42 UU Perkawinan menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”, dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Ini juga dikuatkan dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam mengenai waris yaitu Pasal 186 yang berbunyi ”Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.” Oleh karena itu, dia hanya mewaris dari ibunya saja.
Sementara berdasarkan pada Pasal 863 – Pasal 873 KUHPerdata, maka anak luar kawin yang berhak mendapatkan warisan dari ayahnya adalah anak luar kawin yang diakui oleh ayahnya (Pewaris) atau anak luar kawin yang disahkan pada waktu dilangsungkannya perkawinan antara kedua orang tuanya. Untuk anak luar kawin yang tidak sempat diakui atau tidak pernah diakui oleh Pewaris (dalam hal ini ayahnya), berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang menguji Pasal 43 ayat (1) UUP, sehingga pasal tersebut harus dibaca :
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”
Maka anak yang lahir dari perkawinan siri dapat membuktikan diri sebagai anak kandung dari pewaris namun pada 285 KUHPerdata yang menyatakan apabila terjadi pengakuan dari ayahnya sehingga menimbulkan hubungan hukum antara pewaris dengan anak luar kawinnya tersebut, maka pengakuan anak luar kawin tersebut tidak boleh merugikan pihak isteri dan anak kandung pewaris artinya anak dari perkawinan siri tersebut dianggap tidak ada. Oleh karenanya pembuktian adanya hubungan hukum dari anak hasil perkawinan siri tidak menyebabkan dia dapat secara langsung mewaris dari ayah kandungnya, pendapat tersebut juga dikuatkan dalam Fatwa MUI tanggal 10 Maret 2012 yang menyatakan bahwa anak siri tersebut hanya berhak atas wasiat wajibah.
Secara yuridis keberadaan anak dari perkawinan siri tersebut tetap mendapat pengakuan, perlindungan /dan kepastian hukum yang ada serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, sebagaimana ketentuan Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945, karena ia warga Negara Indonesia. Ketidaksamaan perlindungan hukum yang diberikan Negara kepada anak tersebut, seperti hak menuntut warisan dari harta peninggalan bapaknya, oleh karena hubungan hukum antara anak dengan bapak kandungnya tidak didukung oleh bukti yang otentik berupa akta nikah orang tuanya, maka secara formil ia tidak dapat mengajukan gugatan waris melalui lembaga formal Negara yakni lembaga peradilan. Namun ia tetap berhak menuntut hak warisnya melalui jalur tidak formil, umpamanya melalui jalur musyawarah kekeluargaan atau desa.
Dengan demikian bahwa anak yang lahir dari perkawinan siri dapat saja membuktikan jika dirinya sebagai anak kandung dari pewaris akan tetapi jika berdasarkan Pasal 285 KUHPerdata bahwa apabila ayah kandung (pewaris) mengakui sehingga menimbulkan hubungan hukum antara pewaris dengan anak luar kawinnya tersebut, maka pengakuan anak dari hasil perkawinan siri tidak boleh merugikan pihak isteri dan anak-anak kandung pewaris artinya anak luar kawin tersebut dianggap tidak ada. Maka meskipun telah dibuktikan melalui teknologi adanya hubungan hukum dari anak perkawinan siri tersebut tidak menyebabkan seorang anak dapat menjadi ahli waris dari pewaris (ayah kandungnya) namun anak hasil dari perkawinan siri hanya dapat memiliki hak waris atas wasiat wajibah yang didapat atas orang tua dan kerabat terdekat yang tidak mendapatkan bagian harta peninggalan pewaris tetapi dari perkawinan siri tersebut terhadap anak dapat menuntut hak warisnya melalui jalur tidak formil seperti jalur musyawarah kekeluargaan atau desa.