Dijawab tanggal 2024-07-03 13:47:29+07
Yang terhormat Bapak Muhammad Farhan
Terima kasih sebelumnya Bapak telah menggunakan Aplikasi Halo JPN,
Kami dari JPN Kejaksaan Negeri Merangin memperhatikan pertanyaan yang Bpk. Muhammad Farhan sampaikan terlebih dahulu kami akan menjelaskan :
- Bahwa pembagian waris beda agama di mana orang tua pewaris beragama Katolik sedangkan sdr. Muhammad Farhan beragama Islam maka dari sini dapat kita lihat bahwa antara orang tua dan anak memiliki perbedaan keyakinan dan terkait dengan pembagian waris maka dapat kami asumsikan jika orang tua sdr. Muhammad Farhan sudah meninggal dunia dan harus dibuktikan dengan Surat Keterangan Kematian untuk menyatakan waris berdasarkan Pasal 830 KUHPerdata yang menyatakan:
“Pewarisan hanya terjadi karena kematian”.
- Oleh karenanya, pewarisan baru terjadi apabila pewaris telah meninggal dunia. Sehingga, segala harta peninggalan milik pewaris akan beralih ke ahli waris. Adapun, prinsip pewarisan menurut KUH Perdata adalah berdasarkan pada hubungan darah. Dengan kata lain, yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 832 KUH Perdata.
Lebih lanjut, KUH Perdata membagi ahli waris ke dalam 4 golongan, yaitu:
- Golongan I terdiri dari suami atau istri yang ditinggalkan, anak-anak sah, serta keturunannya. (Pasal 852 dan Pasal 852a KUH Perdata)
- Golongan II terdiri dari ayah, ibu, dan saudara kandung pewaris. (Pasal 854 dan 855 KUH Perdata)
- Golongan III terdiri dari kakek, nenek, dan keluarga dalam garis lurus ke atas. (Pasal 858 KUH Perdata)
- Golongan IV terdiri dari saudara dalam garis ke samping, misalnya paman, bibi, saudara sepupu, hingga derajat keenam, dan saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam.( Pasal 861 KUH Perdata)
- Pembagian warisan menurut hukum perdata tidak membedakan bagian antara laki-laki dan perempuan. Selain itu, dalam KUH Perdata tidak diatur mengenai pewarisan beda agama atau larangan bagi ahli waris yang mewarisi harta peninggalan si pewaris apabila di antara pewaris dan ahli waris berbeda agama karena KUHPerdata merupakan produk hukum peninggalan Belanda.
- Namun terjadi permasalahan dalam hal ini dimana sdr. Muhammad Farhan yang merupakan seorang mualaf adalah beragama Islam sedangkan 2 saudara sdr. Muhammad Farhan lainnya beragama katolik. Orang tua sdr. Muhammad Farhan pun beragama Katolik. Bagaimana cara pembagian waris beda agama di mana orang tua sebagai pewaris beragama Katolik sedangkan sdr. Muhammad Farhan beragama Islam.
- Menjawab pertanyaan sdr. Muhammad Farhan tentang contoh kasus waris beda agama terlebih dahulu kami sampaikan dalam Pewarisan Beda Agama Menurut Hukum Waris Islam menurut Kompilasi Hukum Islam BAB V tentang Wasiat, yakni :
Dalam Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam hingga saat ini juga tidak terdapat pasal yang secara spesifik melarang pewarisan bagi pewaris dan ahli waris yang memiliki perbedaan agama. Pasalnya, ketentuan Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam hanya menyebutkan dua hal yang menjadi penyebab seseorang tidak dapat mewarisi harta peninggalan milik pewaris, yaitu seseorang yang telah terbukti dipersalahkan membunuh dan memfitnah pewaris.
- Akan tetapi, jika melihat dalam hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang berbunyi :
Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi harta orang kafir, dan tidak berhak pula orang kafir mewarisi harta seorang muslim.
Jika dilihat dari hadist tersebut maka ada larangan untuk saling mewarisi jika pewaris dan ahli waris berbeda agama. Namun, jika menilik dasar hukum waris beda agama dalam Kompilasi Hukum Islam lebih lanjut Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf b menerangkan bahwa yang dimaksud dengan pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Sedangkan ahli waris dalam KHI yaitu orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. (Kompilasi Hukum Islam pasal 171 huruf c).
Merujuk pada aturan tersebut, dapat disimpulkan bahwa meskipun dalam KHI tidak diatur secara rinci mengenai larangan beda agama dalam hal pewarisan, namun ditekankan bahwa antara pewaris dan ahli waris harus beragama yang sama, yaitu Islam.
- Terkait hukum waris yang beda agama, Mahkamah Agung telah mengeluarkan suatu yurisprudensi, yaitu dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 51/K/AG/ 1999 dan Nomor 16/K/AG/2010. Dalam yurisprudensi terkait penetapan ahli waris beda agama tersebut, ditegaskan bahwa ahli waris beda agama tetap memperoleh harta waris dengan melalui wasiat wajibah dengan perolehan hak waris ahli waris beda agama bagiannya tidak lebih dari 1/3 harta warisan. Dengan demikian, penetapan ahli waris beda agama dalam hukum Islam, ahli waris nonmuslim yang berbeda agama tetap mendapatkan haknya sebagai ahli waris melalui wasiat wajibah.
- Hal tersebut ditetapkan pada kasus yang telah ditetapkan Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor : 51/K/AG/1999 yang berisi bahwa ahli waris non muslim mendapatkan harta waris dari pewaris muslim sebesar sebanyak-banyaknya 1/3 (satu per tiga) harta pewaris atas dasar wasiat wajibah. Dari putusan tersebut timbul pertanyaan bagaimana dasar hukum pemberian wasiat wajibah untuk ahli waris non muslim ditinjau dari hukum Islam dan akibat hukum dari pemberian wasiat wajibah tersebut dengan adanya putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia REG. NO. 51 K/AG/1999 yang menyatakan bahwa ahli waris non muslim berhak mendapatkan harta peninggalan dari pewaris sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta pewaris atas dasar wasiat wajibah. Pemberian wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim merupakan hal yang baru dalam Hukum Waris Islam yang tidak diatur dalam Al Quran dan Al Hadits. Wasiat wajibah merupakan hasil ijtihad para ulama dalam menyelesaikan permasalahan waris yang memberikan bagian dari harta peninggalan kepada ahli waris atau anggota keluarga yang menurut Mahzab ahlussunnah tidak mendapatkan harta peninggalan. Wasiat wajibah adalah wasiat yang bersifat wajib yang diberikan kepada ahli waris yang tidak mendapatkan bagian dari harta peninggalan pewaris karena adanya hijab sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta peninggalan pewaris. Dengan adanya putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia REG. NO. 51 K/AG/1999 tersebut merupakan penggalian hukum oleh hakim-hakim Indonesia untuk menciptakan hukum baru sehingga dapat dijadikan solusi atas perkara-perkara yang sama. Diharapkan dalam Yurisprudensi tersebut dapat diikuti dan dijadikan solusi atas perkara-perkara yang sama dalam hukum waris yang harus selaras dengan hukum waris Islam karena hal ini selain menyangkut masalah keadilan juga merupakan sarana ibadah orang Islam kepada Allah S.W.T yang telah di diatur dalam Al Qur’an dan al Hadits yang dikenal dengan Wasiat Wajibah.
- Wasiat Wajibah dapat diberikan tidak hanya kepada anak angkat sebagaimana diatur dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam namunjuga dapat diberikan kepada ahli waris yang tidak beragama Islam.
Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam :
- Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
- Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
- Terhadap permasalahan anak atau istri yang tidak beragama Islam dari pewaris yang tidak meninggalkan wasiat ini Mahkamah Agung pada tahun 1998 melalui putusannya No.368 K/Ag/1999 pernah memutus bahwa anak yang pindah agama kedudukannya sama dengan anak lainnya namun tidak sebagai ahli waris melainkan mendapatkan wasiat wajibah. Putusan ini telah memperluas pemberian wasiat wajibah dari yang sebelumnya oleh KHI diatur hanya untuk anak angkat dan orang tua angkat.
Selain terhadap anak pada tahun 2010 yaitu dalam putusan No. 16 K/Ag/2010tanggal 16 April 2010 Mahkamah Agung juga telah memutus bahwa istri yang berbeda agama (non muslim) yang telah menikah dan menemani pewaris selama 18 tahun pernikahan juga berhak mendapatkan harta waris melalui lembaga wasiat wajibah.
Pemberian wasiat wajibah kepada selain anak angkat dan orang tua angkat telah diterapkan oleh Mahkamah Agung secara konsisten sejak tahun 1998 hingga setidaknya tahun 2016, yaitu kepada anak dan istri yang tidak beragama Islam.Dengan telah konsistennya sikap hukum Mahkamah Agung tersebut maka telah menjadi yurisprudensi di Mahkamah Agung dan dapat menjadi rujukan bagi masyarakat.
Kembali pada pertanyaan Sdr. Muhammad Farhan tentang bagaimana cara pembagian waris beda agama di mana orang tua sebagai pewaris beragama Katolik sedangkan sdr. Muhammad Farhan beragama Islam maka merujuk kepada Putusan pemberian wasiat wajibah kepada anak yang tidak beragama Islam yang oleh Mahkamah Agung melalui putusan No. 51 K/Ag/1999 tanggal 29 September 1999 memutuskan :
Ahli waris yang bukan beragama Islam tetap dapat mewaris dari harta peninggalan Pewaris yang beragama Islam, pewarisan dilakukan menggunakan Lembaga Wasiat Wajibah, dimana bagian anak yang bukan beragama Islam mendapat bagian yang sama dengan bagian anak yang beragama Islam sebagai ahli waris. Yang mana bagian sdr. Muhammad Farhan tidak lebih dari 1/3 harta warisan yang ditinggalkan orang tua sdr. Muhammad Farhan.
Demikian yang dapat kami sampaikan apabila jawaban tersebut masih belum memuaskan atau ada pertanyaan lain yang masih ingin disampaikan. Bapak dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum Kami yang berada di Kantor Pengacara Negara Kejaksaan Negeri Merangin secara gratis.
Jika anda kurang puas dengan jawaban ini, silakan berkonsultasi lebih lanjut dengan Jaksa Pengacara Negara pada
KN. MERANGIN
Alamat : JL. Jend. Sudirman Km. 2 Kel. Pematang Kandis Kec. Bangko Kab. Merangin
Kontak : 74621092