Yang Terhormat JPN, pada hukum adat, terdapat beberapa suku yang memperbolehkan menikahi ayah atau ibunya sendiri bahkan saudara kandungnya, apakah ada perlindungan hukum bagi seseorang yang dipaksa untuk menikahi seseorang yang memiliki darah yang sama?
Yth. Bapak/Ibu. Terima kasih telah mempercayakan permasalahan hukum anda untuk dijawab oleh HaloJPN.
Terhadap pertanyaan Bapak/Ibu, dapat kami jawab bahwa saat laki-laki dan perempuan melaksanakan perkawinan maka, perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai sebagaimana dalam Pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan. Dalam pasal tersebut perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tanpa ada paksaan dari pihak manapun karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia sehingga terdapat perlindungan hukum apabila seseorang menikah karena terpaksa atau di bawah ancaman yang melanggar hukum maka secara hukum perdata baik pihak laki-laki atau pihak perempuan dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan. Hal ini juga berlaku apabila menggunakan hukum islam yang dimana didasarkan pada Pasal 72 ayat (1) KHI yang menyatakan menikah karena terpaksa di bawah ancaman dapat dilakukan pembatalan perkawinan yang dimohonkan juga oleh suami atau istri. Namun, pembatalan perkawinan juga memiliki batas waktu. Peraturan perundang-undangan menetapkan Batas waktu pengajuan pembatalan adalah 6 bulan. Kemudian, jika ancaman telah berhenti dan dalam jangka waktu 6 bulan dan masih tetap hidup sebagai suami istri, serta tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Selain pihak suami atau istri, dalam Pasal 23 UU Perkawinan juga menetapkan beberapa pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, suami atau istri, pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan, dan pejabat yang ditunjuk dalam Pasal 16 ayat (2) UU Perkawinan dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu diputus.
Kemudian untuk menikahi ibu atau ayah atau saudara kandungnya apabila kita melihat dalam perspektif hukum islam dan hukum perdata maka, pernikahan sedarah atau incest pada dasarnya adalah pernikahan yang dilarang dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun dalam Kompilasi Hukum Islam.
Di dalam UU Perkawinan, larangan perkawinan sedarah ini dipertegas dalam Pasal 8 UU Perkawinan. Dalam konteks ini, untuk mencegah terjadinya perkawinan incest, pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan-perkawinan di atas dan Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari pasal di atas. Kemudian jika perkawinan sedarah itu terjadi dan secara sah dicatatkan ke Kantor Urusan Agama (KUA) atau kantor pencatatan sipil, maka hal yang wajib dilakukan adalah pembatalan perkawinan ke pengadilan agama bagi yang beragama muslim atau pengadilan negeri bagi yang beragama non muslim. Meskipun apabila kita mengacu pada hukum adat terdapat beberapa adat yang memperbolehkan seperti suku polahi di Gorontalo. Namun jika hal tersebut tetap dilakukan maka akan susah apabila ingin mengurus hal-hal administratif seperti akta, kartu keluarga, dan lainnya.
Demikian jawaban kami. Bila ada pertanyaan lebih lanjut, Bapak/Ibu dapat menemui Jaksa Pengacara Negara untuk mengonsultasikan hal tersebut di Kantor Pengacara Negara di Kejaksaan Negeri Banjarbaru, Jl. Trikora No. 02, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan