Supported by PT. Telkom Indonesia
Jumat, 22 Nov 2024
Quality | Integrity | No Fees
2024-09-12 10:59:03
Pernikahan dan Perceraian
PERKAWINAN INSES(SEDARAH)

Saya ingin menanyakan mengenai kasus inses dalam pandangan hukum di Indonesia. Masalahnya, jika inses telah terjadi, bagaimana status wanita (istri) tersebut dan lebih jauhnya mengenai anak hasil hubungan tersebut. Bagaimana perwaliannya dan bagaimana dengan warisannya?

Dijawab tanggal 2024-09-12 11:03:26+07

Istilah ‘Inses’

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ‘inses’ adalah hubungan seksual atau perkawinan antara dua orang yang bersaudara kandung yang dianggap melanggar adat, hukum, atau agama. 

Dengan demikian, yang dimaksud dengan perkawinan inses adalah pekawinan yang dilakukan oleh pria dan wanita di mana keduanya memiliki hubungan sedarah sebagaimana yang dimaksud di atas.

Hukumnya Perkawinan Sedarah atau Inses

Hukum perkawinan di Indonesia melarang perkawinan inses, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU Perkawinan, bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang:

  1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
  2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya;
  3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
  4. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
  5. berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
  6. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Terhadap perkawinan inses tersebut, maka perkawinan dapat dinyatakan batal dan pada Pasal 28 ayat (1) UU Perkawinan dinyatakan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP Perkawinan”), ditegaskan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan.

Pengadilan yang berwenang untuk membatalkan perkawinan adalah pengadilan yang daerah kekuasaannya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal suami istri, tempat tinggal suami atau tempat tinggal istri.

Status dan Kedudukan Anak Hasil Perkawinan Inses

Apabila dari perkawinan yang batal tersebut terdapat anak yang dilahirkan, maka anak tersebut tetap dinyatakan sebagai anak yang sah, sebab putusnya perkawinan karena pembatalan tersebut tidak berlaku terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28 ayat (2) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa kebatalan tidak berlaku surut terhadap:

  1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
  2. Suami atau istri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
  3. Orang-orang ketiga lainnya sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Menjawab pertanyaan Anda, maka:

  1. Terkait dengan status mantan istri, dengan dibatalkannya perkawinan tersebut, maka perkawinan menjadi putus dan istri berstatus janda. Adapun mengenai hak mantan istri akibat putusnya perkawinan ini, pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan istri;
  2. Terkait dengan hak perwalian anak, maka anak memiliki hubungan nasab dengan ayah kandungnya tersebut, dalam hal ini ketika anak akan menikah, maka ayah kandung tersebut tetap berhak sebagai wali nikahnya, sebagaimana ditegaskan Pasal 21 ayat (1) KHI sebagai golongan pertama wali nasab dari kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas anak tersebut.

Halangan untuk menjadi wali nikah terjadi apabila wali nikah yang paling berhak tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.

Dengan demikian, jelas bahwa ayah kandung memiliki hak sebagai wali nasab jika anak yang dilahirkan dari perkawinan inses tersebut akan menikah.

Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada anak yang telah dilahirkan dalam suatu perkawinan. Perlindungan anak dimaknai sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Jika anda kurang puas dengan jawaban ini, silakan berkonsultasi lebih lanjut dengan Jaksa Pengacara Negara pada
KN. PASAMAN
Alamat : Jl. Jendral Sudirman No.75 Lubuk Sikaping
Kontak : 82391544448

Cari

Terbaru

Pernikahan dan Perceraian
NAFKAH ANAK

Halo Bapak/Ibu. Perkenalkan nama saya

Pertanahan
Jual Beli Tanah dan Bangunan

Halo Bapak/Ibu, perkenalkan saya Iwan

Pernikahan dan Perceraian
perceraian

Min ijin bertanya, mengenai nafkah ba

Pernikahan dan Perceraian
Tentang Anak yang bingung nanti ikut kesiapa

  1. Pada usia berapa anak sudah bisa

Hubungi kami

Email us to [email protected]

Alamat

Jl. Sultan Hasanuddin No.1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan - Indonesia
© 2024 Kejaksaan Republik Indonesia.