Saya ingin menanyakan mengenai kasus inses dalam pandangan hukum di Indonesia. Masalahnya, jika inses telah terjadi, bagaimana status wanita (istri) tersebut dan lebih jauhnya mengenai anak hasil hubungan tersebut. Bagaimana perwaliannya dan bagaimana dengan warisannya?
Istilah ‘Inses’
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ‘inses’ adalah hubungan seksual atau perkawinan antara dua orang yang bersaudara kandung yang dianggap melanggar adat, hukum, atau agama.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan perkawinan inses adalah pekawinan yang dilakukan oleh pria dan wanita di mana keduanya memiliki hubungan sedarah sebagaimana yang dimaksud di atas.
Hukumnya Perkawinan Sedarah atau Inses
Hukum perkawinan di Indonesia melarang perkawinan inses, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU Perkawinan, bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang:
Terhadap perkawinan inses tersebut, maka perkawinan dapat dinyatakan batal dan pada Pasal 28 ayat (1) UU Perkawinan dinyatakan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP Perkawinan”), ditegaskan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan.
Pengadilan yang berwenang untuk membatalkan perkawinan adalah pengadilan yang daerah kekuasaannya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal suami istri, tempat tinggal suami atau tempat tinggal istri.
Status dan Kedudukan Anak Hasil Perkawinan Inses
Apabila dari perkawinan yang batal tersebut terdapat anak yang dilahirkan, maka anak tersebut tetap dinyatakan sebagai anak yang sah, sebab putusnya perkawinan karena pembatalan tersebut tidak berlaku terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28 ayat (2) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa kebatalan tidak berlaku surut terhadap:
Menjawab pertanyaan Anda, maka:
Halangan untuk menjadi wali nikah terjadi apabila wali nikah yang paling berhak tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Dengan demikian, jelas bahwa ayah kandung memiliki hak sebagai wali nasab jika anak yang dilahirkan dari perkawinan inses tersebut akan menikah.
Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada anak yang telah dilahirkan dalam suatu perkawinan. Perlindungan anak dimaknai sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.