Seorang ibu memiliki anak 2 dari perkawinan 1(cerai mati), kemudian menikah lagi dan memiliki 1 anak tiri berusia tahun dari perkawinan ke 2 ( sah) kemudian selama masa perkawinan diketahui bahwa dalam perkawinan ke2 tersebut terjadi KDRT sehingga ibu tersebut mengajukan permohonan cerai, bagaimana pembagian hartanya dalam gono gininya?
Terima kasih Bapak Vincentius Yohanes atas pertanyaan yang diajukan,
Sehubungan dengan pertanyaan yang saudara tanyakan, kami jelaskan sebagai berikut :
Bahwa yang dimaksud dengan perceraian menurut Subekti adalah “Penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu”. Jadi pengertian perceraian menurut Subekti adalah penghapusan perkawinan baik dengan putusan hakim atau tuntutan suami atau istri. Dengan adanya, perceraian, maka perkawinan antara suami dan istri.
Dengan adanya perceraian, maka perkawinan antara suami dan istri menjadi hapus. Namun, Subekti tidak menyatakan pengertian perceraian sebagai penghapusan perkawinan ini dengan kematian atau yang lazim disebut dengan istilah “cerai mati”. Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, suami istri dimungkinkan untuk melakukan gugatan perceraian. Walaupun demikian, ada pembeda antara penganut agama Islam dan di luar Islam dalam soal perceraian ini.
Bahwa akibat hukum perceraian berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu terhadap pemeliharaan anak, terhadap harta bersama dan terhadap nafkah/biaya isteri dan anak.
Bahwa yang dimaksud dengan harta bersama menurut Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan”.
Sedangkan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan “Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain”.
Istilah harta gono-gini yang saudara tanyakan lazim digunakan untuk menyebut tentang harta bersama, sehingga merujuk pada pengertian harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Namun perlu diketahui bahwa istilah ‘harta gono-gini’ ini tidak dikenal dalam hukum.
Di dalam Penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut Hukumnya masing-masing. Kemudian ditegaskan kembali di dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Menurut ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan putusnya pekawinan salah satunya karena perceraian, sehingga berlaku ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan apabila terjadi perceraian dimana harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
Hukum masing-masing yang dimaksud disini adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
Berdasarkan pertanyaan yang saudara ajukan kami tidak mengetahui bila suami istri telah memperjanjikan terkait pisah harta dalam sebuah perjanjian perkawinan. Sehingga pada prinsipnya berdasarkan ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1448K/Sip/1974 (hal. 31) yang menerangkan bahwa :
“Sejak berlakunya UU Perkawinan tentang perkawinan sebagai hukum positif, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya perceraian, harta bersama tersebut harus dibagi sama rata antara mantan suami istri.”
Kemudian bila merujuk pada Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dalam pada Pasal 97 disebutkan bahwa “Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua atas harta peninggalan bersama selama tidak ditentukan lain dalam perjanjian pernikahan”.
Lebih lanjut mengenai harta bersama juga diatur dalam Pasal 128-129 KUHPerdata yang menjelaskan bahwa putusnya tali perkawinan antara suami dan istri, maka harta bersama itu dibagi dua antara suami istri.
Dengan demikian bila melihat ketentuan tersebut diatas, maka selama mengenai harta bersama tidak diatur dalam perjanjian perkawinan, maka masing-masing mantan suami dan mantan istri berhak ½ (setengah) bagian dari harta bersamanya tersebut.
Namun dalam perkara perceraian ketentuan tersebut tidak otomatis dilaksanakan terhadap semua perkara perceraian dimana pembagian harta bersama dengan melihat kontribusi antara suami dan istri selama perolehan harta bersama. Beberapa putusan pengadilan mengenai harta bersama, Majelis Hakim mempertimbangkan tentang kontribusi antara suami dan istri selama menjaga keutuhan dan kelangsungan hidup keluarga misalnya di dalam Putusan Nomor: 2340/Pdt.G/2019/PA.Badg jo Putusan Kasasi Nomor 738 K/AG/2020 dimana kontribusi dalam perkawinan dapat mempengaruhi besaran porsi yang didapatkan dalam pembagian harta bersama.