Supported by PT. Telkom Indonesia
Jumat, 22 Nov 2024
Quality | Integrity | No Fees
2024-07-26 09:30:28
Pernikahan dan Perceraian
NAFKAH ANAK SETELAH PERCERAIAN

Saya ingin bertanya, apabila ada sepasang suami dan istri telah bercerai, kemudian laki – laki itu meninggalkan sebagian harta untuk nafkah kepada anak, akan tetapi di waktu berikutnya laki – laki tersebut tidak lagi memberikan nafkah kepada anak, lalu bagaimana langkah yang harus ditempuh?

Dijawab tanggal 2024-07-26 09:34:22+07

Terima kasih telah menggunakan HaloJPN.

Sebelum menjawab pertanyaan saudara Ari, maka terlebih dahulu kita lihat peraturan yang berkaitan dengan kewajiban seorang bapak untuk menafkahi anaknya pasca perceraian. Yang pertama dapat kita lihat pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dalam Pasal 41 menyatakan bahwa Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

  1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, sematamata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Berdasarkan peraturan tersebut, maka seorang bapak wajib untuk memberikan nafkah kepada bapak setelah perceraian terjadi, namun apabila dalam kenyataan nya bapak tersebut tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka harus berdasarkan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa seorang ibu ikut menafkahi anaknya.

Hal ini juga berkaitan dengan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, bahwa sebagai orang tua dari anak – anak nya, mantan suami atau mantan istri berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

  1. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
  2. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
  3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak;
  4. Memberikan Pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.

Mengenai besarnya nafkah yang diwajibkan kepada seorang bapak untuk diberikan kepada anak setelah bercerai tidak diatur secara spesifik dalam Undang-Undang Perkawinan maupun KHI. Akan tetapi, besarnya perhitungan nafkah anak diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang hanya berlaku bagi pekerjaan tertentu, seperti:

  1. Biaya nafkah anak oleh ayah yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (“PNS”), yaitu apabila perceraian terjadi atas kehendak PNS pria, maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, kemudian pembagian gaji adalah sepertiga untuk PNS pria yang bersangkutan, 1/3 untuk bekas istrinya dan 1/3 untuk anak atau anak-anaknya.
  2. Biaya nafkah anak oleh ayah yang bekerja sebagai anggota Polri, yaitu suami wajib memberikan nafkah kepada anak paling sedikit 1/3 dari gaji jika hak asuh sementara berada pada istri, sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (3) huruf b Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengajuan Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai Negeri Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  3. Biaya nafkah anak oleh ayah yang bekerja sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau pegawai Kementerian Pertahanan (Kemhan). Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 31 Tahun 2017 Tentang Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai di Lingkungan Kementerian Pertahanan, pegawai Kemhan yang telah bercerai dengan istrinya wajib memberikan nafkah kepada mantan istri yang dicerai dan/atau kepada anak yang diasuhnya, sesuai dengan putusan pengadilan.

Apabila pengadilan telah mewajibkan mantan suami untuk menafkahi anak-anaknya namun ia menolaknya atau tetap menafkahi tetapi tidak sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh hakim pada putusan pengadilan, sehingga nafkah yang diberikan tidak menutupi kebutuhan anak, maka hal itu dapat dikatakan sebagai bentuk ketidakpatuhan atas putusan pengadilan. Pasal 54 UU Peradilan Agama mengatur bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang tersebut. Namun, karena UU Peradilan Agama tidak mengatur secara khusus mengenai upaya hukum terhadap pihak yang tidak melaksanakan putusan, maka dalam hal ini berlaku aturan Herzien Inlandsch Reglement (HIR). Kemudian, perlu dipahami bahwa upaya yang dimaksud dalam HIR berlaku untuk perceraian melalui Pengadilan Negeri, maupun melalui Pengadilan Agama.

Apabila seseorang tidak mematuhi apa yang diperintahkan dalam putusan pengadilan, maka berlaku lah Pasal 196 HIR yang menyebutkan bahwa “Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selama-lamanya delapan hari.

Maka menurut ketentuan tersebut, dapat mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan Agama atau Ketua Pengadilan Negeri (Apabila bukan beragama Islam) agar memanggil dan memperingatkan mantan suami guna memenuhi nafkah sesuai putusan perceraian paling lambat 8 hari setelah diperingatkan. Apabila lewat dari batas waktu tersebut, maka berlakulah Pasal 197 HIR (Alinea ke-1), yaitu “Jika sudah lewat tempo yang ditentukan itu, dan yang dikalahkan belum juga memenuhi keputusan itu, atau ia jika dipanggil dengan patut, tidak datang menghadap, maka ketua oleh karena jabatannya memberi perintah dengan surat, supaya disita sekalian banyak barang-barang yang tidak tetap dan jika tidak ada, atau ternyata tidak cukup sekian banyak barang tetap kepunyaan orang yang dikalahkan itu sampai dirasa cukup akan pengganti jumlah uang yang tersebut di dalam keputusan itu dan ditambah pula dengan semua biaya untuk menjalankan keputusan itu.

Jika anda kurang puas dengan jawaban ini, silakan berkonsultasi lebih lanjut dengan Jaksa Pengacara Negara pada
KN. BUNGO
Alamat : jl.Prof dr. soedewi,s.h . No 029 Kelurahan pasir putih kecamatan rimbo tengah kabupaten bungo
Kontak : 085709570414

Cari

Terbaru

Hutang Piutang
pembatalan lelang

halo selamat siang kejaksaan sengeti

Pernikahan dan Perceraian
NAFKAH ANAK

Halo Bapak/Ibu. Perkenalkan nama saya

Pertanahan
Jual Beli Tanah dan Bangunan

Halo Bapak/Ibu, perkenalkan saya Iwan

Pernikahan dan Perceraian
perceraian

Min ijin bertanya, mengenai nafkah ba

Hubungi kami

Email us to [email protected]

Alamat

Jl. Sultan Hasanuddin No.1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan - Indonesia
© 2024 Kejaksaan Republik Indonesia.