saya anak berusi 16tahun ingin bertanya untuk pengurusan hak waris anak tunggal yang tinggal bersama ibu tiri, apakah bisa hak waris saya diperuntukan atas nama ibu tiri saya karena beliau yang selama ini menjaga dan merawat saya semenjak kepergian ayah saya. mohon bantuan penjelasan untuk hukum terkait hak waris saya. terimakasih
Dalam islam, setidaknya ada tiga dasar yang mengatur tentang hak waris. Pertama, surah Al-Baqarah ayat 180 yang menjelaskan bahwa warisan adalah sebuah kewajiban bagi semua umatnya yang bertaqwa kepada Allah SWT. Dalam surah ini kita bisa melihat bahwa wasiat merupakan keinginan si pemilik harta apabila ia meninggal nanti maka hartanya akan dibagikan sehingga harta duniawi bisa dipergunakan dengan baik tanpa menimbulkan konflik dari para ahli waris.
Kedua, surah An-Nisa ayat 11-12 yang menjelaskan tentang keutamaan melakukan pembagian harta warisan. Selain itu juga disebutkan mengenai bagaimana proses atau sistematika pembagian harta warisan kepada para ahli waris. Sehingga jumlah bagian pembagian harta warisan serta siapa saja yang berhak menjadi ahli waris.
Ketiga, Kompilasi Hukum Islam (KHI) di mana sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. KHI sendiri juga memuat peraturan Islam terkait perkawinan, perwakafan, pewarisan, dan lainnya di mana semuanya berlandaskan pada Al-Quran dan hadist.
Sementara apabila seorang pewaris yang beragama selain Islam meninggal dunia, maka yang digunakan adalah sistem pewarisan berdasarkan Hukum Waris sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Setidaknya ada dua prinsip dasar pewarisan menurut aturan tersebut. Pertama, harta waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian (Pasal 830 KUHPerdata).
Dan kedua adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau istri dari pewaris (Pasal 832 KUHPerdata), dengan ketentuan mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya, kalau mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia, maka suami/istri tersebut bukan merupakan ahli waris dari pewaris. Selain menurut Islam dan KUHPerdata, soal waris juga bisa diatur secara adat.
Dalam surah An-Nisa ayat 11 setidaknya ada lima poin utama mengenai waris, yaitu harta warisan untuk anak laki-laki dua kali bagian dari anak perempuan, apabila almarhum/almarhumah tidak ada anak laki-laki dan hanya punya anak perempuan, apabila anak perempuan tunggal maka bagiannya 1/2 dari seluruh harta, sedangkan apabila anak perempuannya lebih dari seorang maka bagian harta warisannya adalah 2/3.
Warisan bapak dan ibu apabila almarhum/almarhumah memiliki anak maka keduanya sama-sama mendapat 1/6, bagian harta warisan ibu apabila si mayyit tidak ada anak adalah 1/3 dan harta warisan dibagi setelah membayar hutang almarhum/almarhumah. Di sini memang tidak dijelaskan secara rinci perihal anak laki-laki tunggal.
Namun jika dilihat dari penjelasan jika anak wanita tunggal mendapat 1/2 dari waris maka besar kemungkinan anak laki-laki tunggal mendapat seluruh hak waris dikurangi hak untuk kedua orang tua almarhumah dan utang piutang. Harta waris yang dimaksud termasuk royalti, asuransi, uang kerahiman dan seluruh harta yang timbul dari kematian.
Jika anak laki-laki tunggal maka setelah harta waris orang tuanya yang meninggal dibagi kepada bapak dan ibu dari pihak almarhum laki-laki dan almarhumah perempuan dan dikurangi dengan utang serta penguburan maupun pengeluaran lain, maka sisanya menjadi milik anak tunggal. Kalau itu laki-laki dia mendapat seluruh harta, masih ada orang tua, jadi orang tua dapat, sisanya untuk anak,
Dalam putusan nomor 122K/AG/1995, ada contoh perkara mengenai waris anak tunggal. Mulanya seorang yang bernama Ny titi meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari 1 orang anak kandung dan 4 orang saudara kandung. Harta warisan yang ditinggalkan Ny Titi terdiri dari tanah, bangunan dan sejumlah uang belum dibagi dan berada dalam penguasaan anak kandung (tati) dan seorang saudara pewaris (wawin).
Para ahli waris yang lain (3 orang saudara pewaris) mengajukan gugatan untuk ditetapkan sebagai ahli waris yang berhak menerima warisan. Oleh pengadilan tingkat pertama, gugatan tersebut diterima dan hakim memutus porsi masing-masing warisan bagi masing-masing ahli waris (anak dan saudara pewaris). Namun di tingkat banding, putusan dibatalkan dan gugatan penggugat NO. Selanjutnya penggugat pun mengajukan kasasi ke MA, dan hasilnya hakim agung memperbaiki putusan sebelumnya karena adanya kesalahan penerapan hukum. Oleh sebab itu, hakim menilai anak perempuan kandung pewaris (tergugat I) adalah ahli waris yang berhak atas warisan sedangkan saudara saudara pewaris lainnya menjadi terhijab/tertutup.
Selanjutnya putusan MA Nomor 308 K/AG/2010. Ahli waris Ny Omih Sukaeni mengajukan gugatan perihal waris hingga tingkat kasasi terhadap ahli waris maskun & ahli waris sang istri Itin Sutini. Kasus bermula ketika Ny Omih Sukaeni dan Maskun (tergugat I) diangkat sebagai anak oleh Ny Iok Rapiah anak perempuan tunggal dari pasangan Isah dan H Fatah yang sudah meninggal dunia.
Selaku ahli waris, tergugat I memiliki tanah dengan SHM 1267 yang merupakan gabungan 3 leter C tanah milik pewaris. Tanah tersebut kemudian dijual oleh tergugat. Pengadilan Agama Sumedang mengeluarkan penetapan yang intinya: menyatakan sah hibah wasiat yang diterima oleh tergugat (tanah beserta bangunan di atasnya).
Para tergugat yang merupakan ahli waris Ny Omih Sukaeni (saudara tiri/sesama anak angkat dengan tergugat I) merasa keberatan akan penetapan tersebut. Dengan dalil Pengadilan Agama tidak berwenang, orang tua penggugat tidak diikutsertakan dalam penetapan, dan terdapat ketidakjelasan informasi kapan hibah wasiat dilakukan serta apa saja batas batas objek yang sedang disengketakan. Kemudian gugatan penggugat ditolak. Putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dan di tingkat Mahkamah Agung pun permohonan pemohon kasasi dalam hal ini penggugat/pembanding ditolak oleh Mahkamah Agung. Adapun alasan Mahkamah Agung adalah alasan pemohon yang tidak dapat dibenarkan karena tidak ada kesalahan penerapan hukum oleh hakim pada tingkat pengadilan sebelumnya.
Berdasarkan beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan memang masih tidak ditemui keseragaman mengenai usia dewasa seseorang. Sebagian memberi batasan 21 tahun, sebagian lagi 18 tahun, bahkan ada yang 17 tahun. Ketidakseragaman batasan usia dewasa atau batasan usia anak pada berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia memang kerap menimbulkan pertanyaan mengenai batasan yang mana yang seharusnya digunakan.
Namun jika berpatokan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada Pasal 47 menyebutkan anak yang dimaksud dalam UU Perkawinan adalah yang belum mencapai 18 tahun. Sehingga bisa dibilang jika belum mencapai usia tersebut maka ada pihak yang menjadi wali.
Kesimpulan nya, ahli waris dari hubungan darah ini perlu ditelusuri terlebih dahulu. Namun jika setelah ditelusuri memang tidak ada ahli waris, maka baru berlaku Pasal 191 KHI yang berbunyi:
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Mal untuk kepentingan Agama Islam dan kesejahteraan umum.
Jadi jika tidak ada ahli waris sama sekali, maka atas harta waris dari pewaris yang merupakan anak tunggal tersebut, berdasarkan putusan Pengadilan Agama, diserahkan penguasaannya ke Baitul Mal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum.
Demikian jawaban dari kami tentang ahli waris dari pewaris tunggal dalam hal pembagian harta warisan sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.