1.
Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak.
Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) menentukan bahwa anak yang belum memncapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. UU Perkawinan hanya mengenal satu jenis wali, yaitu wali yang ditunjuk oleh salah satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal. Cara penunjukan wali menurut ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Perkawinan adalah melalui surat wasiat atau secara lisan di hadapan dua orang saksi.
Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, disingkat KUH Perdata) mengenal beberapa jenis perwalian, yaitu:
Menurut Pasal 51 ayat (2) UU Perkawinan, wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. Adapun kewajiban dari seorang wali adalah:
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 50 UU Perkawinan
Pasal 49 UU Perkawinan
Pasal 49 Yang dimaksud dengan "kekuasaan" dalam pasal ini tidak termasuk kekuasaan sebagai wali-nikah.
2.
Berdasarkan firman Allah SWT dalam al-Quran:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri. (QS An Nisa: 23)
Rabibah adalah anak perempuan dari istri, dan menjadi mahram bagi laki-laki yang menikahi ibu anak tersebut dan ia telah menggaulinya, dan dibolehkan bagi anak tiri perempuan untuk tidak memakai jilbab di hadapan ayah tirinya.
Adapun hak dan kewajiban dari anak tiri perempuan dan ayah tirinya hubungan antar keduanya, maka bisa disimpulkan pada hubungan silaturrahim, menghormati, baik dalam bergaul. Umat Islam semuanya telah diperintahkan untuk berbuat baik kepada sesama saudaranya semuslim lainnya, maka apalagi terhadap para mahram yang disebabkan karena mushaharah (perbesanan/pernikahan), tidak diragukan lagi bahwa mereka mempunyai hak untuk dihormati dan diperhatikan lebih dari pada umat Islam pada umumnya.
Hanya saja, nafkah, melayani, dan taat tidak diwajibkan antar keduanya. Dari sisi kewajiban syari anak tiri perempuan dalam bab ini hukumnya berbeda antara ayah tiri dan ibunya sendiri. Jika ayah tirinya berlaku baik dan membiayai anak tirinya lalu timbal baliknya anak tiri perempuannya membalas dengan prilaku baik kepadanya, membantu dan ikut memelihara rumahnya, maka hal itu lebih utama dan lebih baik. Karena berkumpulnya hati dan jiwa adalah tujuan yang sangat diharapkan oleh syariat untuk mewujudkannya.
Penekanan pada kewajiban seorang ayah sebenarnya bertolak dari putusan pengadilan yang umumnya memberikan hak asuh anak kepada ibu dalam sebuah perceraian. Berdasarkan ketentuan di atas maka seorang ayah tetap bertanggung jawab terhadap anaknya meskipun anaknya sudah berstatus anak tiri dari perkawinan baru mantan istri.
Seorang ayah tiri tidak memiliki hubungan waris dan hubungan keperdataan dengan anak tirinya sehingga dia boleh memelihara dan bahkan boleh mewarisi sepertiga hartanya berdasarkan ketentuan. Tetapi sifatnya tidak wajib. Seorang anak termasuk anak tiri memiliki hubungan waris dan keperdataan dengan orang tua kandungnya yang tidak terputus. Kedua orang tua dari anak tersebut bertanggung jawab atasnya hingga anak mereka mampu berdiri sendiri atau menikah.