Rekan saya adalah karyawan di sebuah perusahaan dan bertugas mengambil uang dari klien. Suatu ketika dia tanda tangan di kuitansi dan menuliskan kalimat “kurang bayar Rp20 juta”. Padahal, sesuai surat pernyataan yang dibuat oleh klien, utangnya masih Rp60 juta. Dalam hal ini rekan saya tidak mengambil keuntungan apapun. Pertanyaan saya:
Untuk menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kami sampaikan syarat keabsahan perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
Suatu perjanjian harus dilandasi dengan kata sepakat. Di dalam KUH Perdata, tidak memberikan definisi apakah yang dimaksud dengan sepakat itu. Tapi pada prinsipnya, kesepakatan itu dibentuk karena kecocokan atau kesesuaian kehendak para pihak, antara penawaran (offer) dan penerimaan (acceptance). ( Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. 2, 2011, hal. 162-163 )
Adanya kesesuaian antara penawaran dan penerimaan maka disitulah momentum lahirnya kesepakatan. Kata sepakat dapat diberikan secara tegas maupun dengan diam-diam. Secara tegas dapat dilakukan dengan lisan, tertulis (dalam akta di bawah tangan atau akta autentik), ataupun dengan diam-diam dengan suatu tanda tertentu.
Kesepakatan diam-diam (silent agreement) adalah kesepakatan yang disimpulkan dari sikap, tindakan atau fakta bahwa pihak tersebut memilih melaksanakan prestasi tanpa menyatakan persetujuan secara tegas atau memilih berdiam diri ketika ia memiliki kesempatan untuk menolak.
Jika subjek hukumnya adalah orang, maka standar kecakapan ini dilihat dari usia kedewasaan, sebagaimana sudah diatur Pasal 1329, 1330, 1331 KUH Perdata. Di dalam KUH Perdata ditentukan bahwa orang membuat perjanjian itu harus cakap. Apabila menggunakan standar usia kecakapan merujuk pada Pasal 47 jo. 50 UU Perkawinan yaitu usia 18 tahun.
Jika pihaknya merupakan badan hukum, maka standar kecapakan ini harus dinilai dari sisi kewenangan (bevoegheid). Bahwa organ yang mewakili badan hukum itu adalah organ yang memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum itu.
Jadi standar kecakapan manusia yaitu usia, tidak di bawah pengampuan, atau kepailitan sedangkan badan hukum dinilai dari aspek kewenangan bahwa organ yang mewakili badan hukum tersebut adalah organ yang berwenang.
Seperti yang diuraikan pada Pasal 1332, 1333, 1334 KUH Perdata, suatu perjanjian harus dikarenakan sebab tertentu, harus dapat dijelaskan, dirincikan, atau diuraikan objek macam dan jenisnya. Pada prinsipnya, objeknya harus jelas dan dapat ditentukan.
Perjanjian itu tidak boleh karena sebab yang palsu. Hal ini diatur dalam Pasal 1335 KUH Perdata. Selain itu, juga dilarang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, ataupun ketertiban umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata.
Sehubungan dengan keempat syarat sah suatu perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka terdapat konsekuensi apabila masing-masing syarat tidak terpenuhi. Pertama, syarat kesepakatan dan kecakapan, merupakan unsur subjektif karena berkenaan dengan diri atau subjek yang membuat kontrak. Kedua, syarat objek tertentu dan kausa yang diperbolehkan merupakan unsur objektif.
Selanjutnya, apabila perjanjian tersebut merupakan perjanjian konsensual maka dengan kesepakatan para pihak maka telah lahir perjanjian itu. Dengan lahirnya perjanjian maka menimbulkan perikatan bagi para pihak.( Pasal 1233 jo. Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata “KUH Perdata”)
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa perjanjian atau kontrak itu mengikat bagi mereka atau pihak-pihak yang membuatnya sebagaimana layaknya undang-undang (pacta sun servanda), harus dipenuhi yang membawa konsekuensi hukum wanprestasi bila tidak dilaksanakan.
- Dapatkah Kuitansi Berfungsi Sebagai Perjanjian?
Sebelumnya, Anda tidak menegaskan perjanjian apa yang Anda maksud, apakah perjanjian jual beli, sewa menyewa, atau utang piutang. Sehingga kami asumsikan bahwa perjanjian yang Anda maksud sifatnya konsensual, dimana perjanjian ini dianggap lahir berdasarkan kesepatakan para pihak. Prinsip ini dipahami bahwa perjanjian dianggap telah terjadi dan karenanya mengikat sejak tercapainya kata sepakat. ( Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian: Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010, Cet. 2, hal. 191 )
Menurut KBBI kuitansi adalah surat bukti penerimaan uang. Sehingga dari segi alat bukti, kuitansi menjadi alat bukti tulisan mengenai penerimaan uang. Selain itu, kuitansi juga dapat dijadikan sebagai bukti suatu perjanjian.
Kuitansi sebagai bukti perjanjian dapat dilihat dalam Putusan PT Samarinda 18/Pdt/2016/PT.Smr dan Putusan MA 2070 K/Pdt/2016. Demikian juga dalam Putusan MA 2949 K/Pdt/2016 yang mengakui kuitansi sebagai bukti perjanjian jual beli hak atas tanah. Dengan demikian, kuitansi bukan berfungsi sebagai perjanjian, melainkan dapat menjadi bukti adanya suatu perjanjian.
Akan tetapi, karena kuitansi tidak menguraikan secara rinci suatu perjanjian, maka perlu didukung dengan alat bukti lain yang membuktikan bahwa perjanjian tersebut adalah dasar penerimaan uang yang diuraikan dalam kuitansi.
Adapun alat bukti lain yang dapat digunakan adalah alat bukti tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah.( Pasal 1866 KUH Perdata jo. Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement/284 Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura ) Selain itu, dapat pula berbentuk alat bukti elektronik berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya. ( Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik )
Terhadap tulisan kuitansi yang menguraikan sisa utang adalah sejumlah Rp20 juta padahal seharusnya Rp60 juta, maka Anda dapat merujuk Putusan MA 167 K/Sip/1959 yang kaidah hukumnya menyatakan:
Surat bukti pinjam uang yang diuraikan dalam kuitansi yang diakui tanda tangannya tetapi disangkal jumlah uang yang dipinjamnya dapat dianggap sebagai permulaan pembuktian tertulis.
Sehingga berdasarkan putusan ini, apabila terdapat kuitansi penerimaan uang yang juga menyebutkan sisa utang tetapi rekan Anda menyangkalnya, maka mengenai kebenaran sisa utang tersebut harus didukung dengan bukti lain. Misalnya bukti transaksi pengiriman uang/transfer bank, atau bukti saksi yang mengetahui dan membenarkan sisa utang sebesar Rp60 juta bukan Rp20 juta atau sebaliknya.
Sebagai tambahan, rekan Anda dalam melaksanakan tugas ke depan harus lebih berhati-hati dan cermat dalam menuliskan dan menandatangani bukti penerimaan uang, mengingat kuitansi merupakan alat bukti yang menunjukan adanya penerimaan uang dan membuktikan adanya perjanjian.
Adek saya menikah saat masih SMA tanp
Saya baru membeli tanah SHM dan ingin