Apa pandangan hukum terhadap nikah siri dan kedudukan dari status pernikahan tersebut?
Yth. Bapak/Ibu, terima kasih telah menggunakan aplikasi Halo JPN untuk berkonsultasi mengenai permasalahan keperdataan anda.
Nikah siri adalah pernikahan yang dilaksanakan sesuai dengan syarat rukun nikah dalam Islam, tetapi tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) atau oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN), pernikahan model ini dilangsungkan secara sembunyi-sembunyi, diam-diam, rahasia dan tertutup dari publikasi. Apabila kita melihat berdasarkan pandangan hukum, terlebih dahulu kita melihat definisi nikah dalam hukum islam yaitu melakukan akad nikah atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan Allah, kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi Allah. Kemudian melihat tujuan dari perkawinan siri ini juga untuk mencegah terjadinya perzinahan, mengikat keluarga yang satu dengan yang lain, menghindari pandangan yang tidak baik dari masyarakat sekitar, agar putra-putrinya tidak terlalu bebas bergaul dengan pihak lain karenanya keduanya telah terikat tali perkawinan menurut agama maupun adat istiadat. Kemudian apabila kita melihat berdasarkan hukum nasional yang mengacu Pasal 1, 2, dan 6-12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, PP Nomor 9 tahun 1975 tentang tata cara pelaksanaan perkawinan, KHI Inpres No. 1 Tahun 1991 dan Kemenag No.154 Tahun 1991 Pasal 5, 6, dan 7 (1) memperkuat bahwa pencatatan menjadi syarat sahnya akad nikah, Yurisprudensi MA RI No. 1948/K/Pid/1991; pertimbangan hukum: yang dimaksud perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 adalah perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pejabat KUA maka, perkawinan Siri merupakan perkawinan yang tidak sah dalam perspektif Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974. Perkawinan siri tidak memiliki akta otentik, sehingga seseorang yang melakukan perkawinan di bawah tangan akan kesulitan membuktikan tentang terjadinya perkawinannya.
Kemudian untuk kedudukan dari perkawinan siri dianggap perkawinan yang tidak sah. Hal ini karena perkawinan siri tidak memenuhi rumusan perundang-undangan sehingga hubungan suami istri hanya didasarkan pada kepercayaan dan hanya sah menurut hukum agama dan kepercayaan tetapi tidak dalam hukum nasional. Dalam hukum nasional pun kedudukan anak yang nantinya lahir dalam perkawinan yang dilaksanakan secara siri dianggap tidak sah secara hukum nasional karena dalam Pasal 42 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengatur definisi anak sah yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Kemudian diatur lebih lanjut lagi dalam Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengenai anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya atau keluarga ibunya. Artinya jika anak yang lahir dari perkawinan siri tidak mempunyai hubungan secara perdata dengan ayahnya atau keluarga ayahnya, meskipun dalam kenyataannya menurut hukum adat setempat anak tersebut tetap diakui keberadaan oleh ayahnya beserta keluarga ayah. Namun berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 12 Februari 2012, terjadi perubahan yaitu hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum.
Semoga jawaban kami dapat menjawab dan menyelesaikan permasalahan anda.