Apa saja syarat perceraian untuk pasangan suami/istri beragama muslim?
Jikalau tidak dinafkahi dalam satu bualn apakah ada unsur pidanaanya?? Dan hak2 apa saja yang di dapatkan oleh istri setelah perceraian
Terima kasih atas pertanyaannya bapak andy
Berikut kami menjawab pertanyaan saudara yaitu:
Perceraian di Indonesia baru dikatakan sah jika telah diputus oleh Pengadilan Agama (bagi yang memeluk agama Islam) atau Pengadilan Negeri (bagi pemeluk agama selain Islam).
Jadi, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan).
Dengan kata lain, merujuk buku Hukum Perkawinan Islam di Indonesia oleh Umar Haris Sanjaya dan Aunur Rahim Faqih (2007), perceraian hanya bisa terjadi jika salah satu pihak, baik suami atau istri, mengajukan gugatan perceraian.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, perceraian wajib didasarkan dengan alasan-alasan yang membuat suami istri tidak dimungkinkan untuk akur kembali. Artinya, sudah tidak ada harapan untuk melangsungkan kehidupan pernikahan yang bahagia lagi.
Jadi, syarat dasar untuk melangsungkan perceraian (khususnya bagi pemeluk agama Islam) dapat dirangkum sebagai berikut:
Setelah permohonan atau gugatan perceraian dikabulkan dan diputus oleh Pengadilan Agama, maka tentu akan timbul akibat hukum dari perceraian, di antaranya (Pasal 156 KHI):
Apabila perceraian terjadi karena cerai talak, maka suami wajib memenuhi hak-hak yang melekat pada istri yang baru saja ia ceraikan.
Hak-hak istri yang diperoleh akibat cerai talak meliputi (Pasal 96, Pasal 97, Pasal 105 ayat (1), dan Pasal 149 KHI):
Berikut hak istri jika ia yang mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya (cerai gugat), yang meliputi:
Serta Pertanyaan terakhir tentang ada atau tidak unsur pidana apabila di terlantarkan istri yang tidak dinafkahi:
Suami selaku kepala rumah tangga memiliki tanggung jawab dimana melekat berbagai kewajiban didirinya. Salah satu Kewajiban seorang suami adalah memberikan nafkah bagi istri dan anak-anaknya. sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan jo. Pasal80 ayat (2) dan ayat (4) KHI jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU Penghapusan KDRT), sebagai berikut:
Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan:
Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Pasal 80 ayat (2) dan ayat (4) KHI:
(2) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
Pasal 9 UU Penghapusan KDRT:
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Dalam hal sang suami telah dengan sengaja melakukan penelantaran maka dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp15 juta sebagaimana di atur dalam Pasal 49 UU Penghapusan KDRT
Dengan bukti-bukti yang cukup, seorang istri dapat melaporkan suaminya ke kepolisian atas dugaan tidak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 49 jo. Pasal 9 UU Penghapusan KDRT.
Permasalahan istri dan suami sebaiknya diselesaikan tanpa suatu proses pidana, namun demikian seorang istri dapat menggunakan ketentuan Pasal 49 UU Penghapusan KDRT di atas sebagai bahan agar suaminya tidak menelantarkan dan semena-mena kepadanya.
Demikian kami selaku Jaksa Pengacara Negara di Kejaksaan Negeri Dairi menjawab Pertanyaan bapak Andy, semoga dapat bermanfaat,
Terima kasih..