Supported by PT. Telkom Indonesia
Sabtu, 23 Nov 2024
Quality | Integrity | No Fees
2024-03-05 12:20:00
Pernikahan dan Perceraian
PERCERAIAN

Apa saja syarat perceraian untuk pasangan suami/istri beragama muslim?

Jikalau tidak dinafkahi dalam satu bualn apakah ada unsur pidanaanya?? Dan hak2 apa saja yang di dapatkan oleh istri setelah perceraian

Dijawab tanggal 2024-03-05 17:20:59+07

Terima kasih atas pertanyaannya bapak andy

Berikut kami menjawab pertanyaan saudara yaitu:

Syarat untuk Mengajukan Perceraian dalam Islam

Perceraian di Indonesia baru dikatakan sah jika telah diputus oleh Pengadilan Agama (bagi yang memeluk agama Islam) atau Pengadilan Negeri (bagi pemeluk agama selain Islam).

Jadi, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan).

Dengan kata lain, merujuk buku Hukum Perkawinan Islam di Indonesia oleh Umar Haris Sanjaya dan Aunur Rahim Faqih (2007), perceraian hanya bisa terjadi jika salah satu pihak, baik suami atau istri, mengajukan gugatan perceraian. 

Seperti yang sudah disebutkan di atas, perceraian wajib didasarkan dengan alasan-alasan yang membuat suami istri tidak dimungkinkan untuk akur kembali. Artinya, sudah tidak ada harapan untuk melangsungkan kehidupan pernikahan yang bahagia lagi.

Jadi, syarat dasar untuk melangsungkan perceraian (khususnya bagi pemeluk agama Islam) dapat dirangkum sebagai berikut:

  1. Diajukan permohonan atau gugatan perceraian ke Pengadilan Agama oleh salah satu pihak. Bisa dari suami (cerai talak) atau dari istri (cerai gugat).
  2. Didasari oleh satu alasan sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 116 KHI dan Pasal 19 PP No.9/1975.
  3. Pengajuan perceraian dapat dilakukan di Pengadilan Agama tempat kediaman istri (jika dalam cerai gugat sebagai penggugat, sementara pada cerai talak berperan sebagai termohon). Kecuali, apabila istri dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami (Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 73 ayat (1) UU Peradilan Agama).
  4. Salah satu pihak yang mengajukan perceraian membawa dokumen-dokumen yang dipersyaratkan oleh Pengadilan Agama, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Akta Nikah, dan sebagainya.
  5. Menyiapkan dana untuk membayar panjar biaya berperkara di Pengadilan Agama. 

 

Akibat Hukum yang Timbul Pasca Perceraian dalam Islam

Setelah permohonan atau gugatan perceraian dikabulkan dan diputus oleh Pengadilan Agama, maka tentu akan timbul akibat hukum dari perceraian, di antaranya (Pasal 156 KHI):

  1. Anak yang belum mumayyiz (belum menginjak usia 12 tahun) berhak mendapatkan hadhanah (pemeliharaan anak atau pengasuhan anak) dari ibunya. Kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
    • Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
    • Ayah;
    • Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
    • Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
    • Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
  2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;
  3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan. Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;
  4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);
  5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (d) (dalam artikel ini ditulis angka 1, 2, dan 4);
  6. Pengadilan dapat pula (dengan mengingat kemampuan ayahnya) menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

 

Hak Istri Pasca Perceraian dalam Islam

Apabila perceraian terjadi karena cerai talak, maka suami wajib memenuhi hak-hak yang melekat pada istri yang baru saja ia ceraikan.

Hak-hak istri yang diperoleh akibat cerai talak meliputi (Pasal 96, Pasal 97, Pasal 105 ayat (1), dan Pasal 149 KHI):

  1. Memberikan mut’ah (kenang-kenangan pasca cerai) yang Iayak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul (belum pernah berhubungan badan);
  2. Memberi nafkah, maskan (tempat tinggal), dan kiswah (pakaian) kepada bekas istri selama dalam masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
  3. Melunasi mahar yang seluruhnya, dan separuh apabila qobla al dukhul;
  4. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
  5. Berhak atas nafkah lampau, apabila selama perkawinan suami tidak memberi nafkah.
  6. Perempuan berhak atas harta bersama. Ketentuan pembagian harta bersama antara lain:
    • Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama (Pasal 96 ayat (1) KHI).
    • Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya memiliki utang, maka harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan pengadilan agama (Pasal 96 ayat (2) KHI).
    • Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan (Pasal 97 KHI).
  7. Perempuan berhak untuk mendapatkan hak hadhanah bagi anak yang belum berumur 12 tahun.

Berikut hak istri jika ia yang mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya (cerai gugat), yang meliputi:

  1. Berhak atas nafkah lampau, apabila selama perkawinan tersebut, suami tidak memberi nafkah;
  2. Perempuan berhak atas harta bersama, dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 96 dan Pasal 97 KHI;
  3. Perempuan berhak untuk mendapatkan hak hadhanah bagi anak yang belum berumur 12 tahun.

 

Serta Pertanyaan terakhir tentang ada atau tidak unsur pidana apabila di terlantarkan istri yang tidak dinafkahi: 

Suami selaku kepala rumah tangga memiliki tanggung jawab dimana melekat berbagai kewajiban didirinya. Salah satu Kewajiban seorang suami adalah memberikan nafkah bagi istri dan anak-anaknya. sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan jo. Pasal80 ayat (2) dan ayat (4) KHI jo. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU Penghapusan KDRT”), sebagai berikut:

Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan:

“Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.”

Pasal 80 ayat (2) dan ayat (4) KHI:

(2)  Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

(4)  Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:

  1. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri.
  2. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak.
  3. biaya pendidikan bagi anak.”

Pasal 9 UU Penghapusan KDRT:

(1)   Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

(2)   Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.”

 

Dalam hal sang suami telah dengan sengaja melakukan penelantaran maka dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp15 juta sebagaimana di atur dalam Pasal 49 UU Penghapusan KDRT 

Dengan bukti-bukti yang cukup, seorang istri dapat melaporkan suaminya ke kepolisian atas dugaan tidak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 49 jo. Pasal 9 UU Penghapusan KDRT.

Permasalahan istri dan suami sebaiknya diselesaikan tanpa suatu proses pidana, namun demikian seorang istri dapat menggunakan ketentuan Pasal 49 UU Penghapusan KDRT di atas sebagai bahan agar suaminya tidak menelantarkan dan semena-mena kepadanya.

 

Demikian kami selaku Jaksa Pengacara Negara di Kejaksaan Negeri Dairi menjawab Pertanyaan bapak Andy, semoga dapat bermanfaat,

Terima kasih..

Jika anda kurang puas dengan jawaban ini, silakan berkonsultasi lebih lanjut dengan Jaksa Pengacara Negara pada
KN. DAIRI
Alamat :
Kontak :

Cari

Terbaru

Hutang Piutang
pembatalan lelang

halo selamat siang kejaksaan sengeti

Pernikahan dan Perceraian
NAFKAH ANAK

Halo Bapak/Ibu. Perkenalkan nama saya

Pertanahan
Jual Beli Tanah dan Bangunan

Halo Bapak/Ibu, perkenalkan saya Iwan

Pernikahan dan Perceraian
perceraian

Min ijin bertanya, mengenai nafkah ba

Hubungi kami

Email us to [email protected]

Alamat

Jl. Sultan Hasanuddin No.1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan - Indonesia
© 2024 Kejaksaan Republik Indonesia.