Saya dan suami sudah memiliki 1 (satu) orang anak. Suami memang tidak pernah berperilaku kasar ataupun berselingkuh, akan tetapi suami tidak pernah memberikan nafkah lahir untuk saya dan anak, bahkan saya dan anak ditelantarkan begitu saja oleh suami. Apakah saya bisa menggugat cerai suami saya karena alasan tersebut? Lalu apabila saya yang menggugat, apakah saya tetap dapat harta gono-gini?
Terimakasih sebelumnya kami ucapkan kepada saudari atas pertanyaan yang diajukan.
Perlu diketahui bahwa menggugat cerai suami adalah langkah mengakhiri perkawinan yang dapat dilakukan oleh pihak istri. Oleh karena saudari dan suami beragama Islam, maka perkawinan saudari tunduk pada hukum Islam dan merujuk pada UU Perkawinan dan perubahannya serta Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dan untuk melakukan perceraian harus terdapat cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.
Dalam perkawinan secara Islam, putusnya perkawinan karena perceraian dapat terjadi karena talak yang dimohonkan oleh suami, atau gugatan perceraian yang diajukan oleh istri.
Berdasarkan KHI, terdapat sejumlah alasan yang dapat menjadi alasan perceraian, yakni sebagai berikut:
Perlu diketahui bahwa suami memiliki kewajiban untuk memberikan istri dan anaknya nafkah yang layak. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Salah satu kewajiban suami adalah melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Selain itu, kewajiban ini juga ditegaskan dalam Pasal 80 ayat (4) KHI yang menerangkan: sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
Nyatanya, suatu perkawinan menimbulkan hubungan keperdataan antara suami dengan istri yang kemudian melahirkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Dengan kata lain, jika suami tidak memberikan nafkah yang layak untuk istri, maka ia dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi.
Apabila suami melalaikan kewajiban dalam memberi nafkah lahir (dari segi finansial) sebagaimana diterangkan sebelumnya, istri dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan untuk menuntut nafkah yang layak. Mengenai pemberian nafkah yang layak sebenarnya sudah tersedia upaya hukumnya, yakni gugatan untuk menuntut nafkah dan tidak serta merta harus menempuh langkah perceraian. Langkah ini dapat ditempuh dalam proses mediasi di pengadilan sebelum putusan perceraian dilakukan.
Mengenai harta gono-gini telah diatur dalam Pasal 97 KHI. Pasal tersebut menerangkan bahwa janda atau duda cerai, masing-masing berhak seperdua (setengah) dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan. Jadi sepanjang tidak ada harta bersama yang ditentukan dalam sebuah perjanjian perkawinan, istri yang menggugat cerai suami tetap berhak atas separuh atau setengah harta bersama.
Demikian jawaban dari kami atas permasalahan saudari. Apabila saudari masih merasa bingung ataupun kurang memahami jawaban dari kami, dipersilahkan kepada saudari untuk mendatangi dan berkonsultasi secara langsung dengan tim Jaksa Pengacara Negara pada Kantor Pengacara Negara Kejaksaan Negeri Pasaman Barat yang beralamat di Jalan Soekarno Hatta Nagari Lingkuang Aua Kecamatan Pasaman Kabupaten Pasaman Barat.
Sekian dari kami. Terima kasih.