Jadi ayah saya tercatat bahwa beliau sebagai atas nama pada sertifikat rumah orang tuanya. Tahun lalu ayah saya baru saja meninggal bagaimana cara saya agar sertifikat tersebut bisa menjadi atas nama saya sebagai anak satu-satunya dari beliau
Bahwa untuk menjawab permasalahan hukum tersebut kami selaku Jaksa Pengacara Negara mengacu pada aturan perundang-undangan yang berlaku, yakni Pasal 32 PP 24/1997, pengertian sertifikat adalah surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
Hak atas tanah pada dasarnya bisa beralih atau berpindah karena pewarisan. Peralihan hak atas tanah karena pewarisan ini terjadi karena hukum ketika pemegang hak yang bersangkutan meninggal dunia. Maka, sejak saat itu, para ahli waris menjadi pemegang haknya yang baru. Mengenai siapa yang menjadi ahli waris diatur di dalam hukum perdata yang berlaku bagi pewaris.
Jika terjadi peralihan hak karena pewarisan, maka wajib dilakukan pendaftaran, dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi para ahli waris dan demi ketertiban tata usaha pendaftaran tanah. Perubahan kepemilikan ketika pendaftaran hak atas tanah tersebut, umumnya dikenal dengan istilah balik nama sertifikat tanah.
Syarat Balik Nama Sertifikat Tanah karena Pewarisan
Hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 42 ayat (1) PP 24/1997 yang berbunyi:
Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun sebagai yang diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan sebagai warisan kepada Kantor Pertanahan, sertifikat hak yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat sebagai pemegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli warisnya.
Surat kematian tersebut dibuat oleh kepala desa/lurah tempat tinggal pewaris waktu meninggal dunia, rumah sakit, petugas kesehatan, atau instansi lainnya yang berwenang.
Sementara itu, surat tanda bukti ahli waris dapat berupa:
Berdasarkan Pasal 875 KUH Perdata, surat wasiat atau testament sebagai suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali lagi.
Penentuan siapa yang dapat menjadi ahli waris, salah satunya dapat dilakukan melalui permohonan penetapan ahli waris yang dikeluarkan oleh pengadilan, baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri.
Menurut Pasal 111 ayat (1) Permen ATR/Kepala BPN 16/2021, untuk melakukan permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah, ahli waris atau kuasanya perlu melampirkan:
Pendaftaran perolehan hak karena waris dan hibah wasiat baru bisa dilakukan jika wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (“BPHTB”).
Adapun, tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% dan tarif BPHTB tersebut ditetapkan dengan perda masing-masing daerah.
Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak. Dalam konteks hibah wasiat atau waris, maka nilai objek pajak ditetapkan berdasarkan nilai pasar. Jika nilai perolehan objek pajak tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya waris (perolehan), dasar pengenaan BPHTB adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
Para ahli waris dapat melakukan proses balik nama sertifikat tanah atau SHM di Kantor Badan Pertanahan Nasional dengan persyaratan sebagai berikut:
Penyerahan bukti SBB (BPHTB), bukti SSP/PPH untuk perolehan tanah lebih dari Rp60 juta bukti bayar uang pemasukan (pada saat pendaftaran hak).
Jika ahli waris terdiri atas beberapa orang, maka dilakukan balik nama sertifikat menjadi atas nama para ahli waris. Tanah tersebut belum bisa dialihkan oleh para ahli waris kepada pihak lain karena kepemilikan bersama.
Namun, jika para pemegang hak ingin mengakhiri kepemilikan bersama dengan membagi tanah tersebut, maka lebih terlebih dahulu perlu ada kesepakatan para ahli waris yang dituangkan dalam APHB.
APHB tersebut dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagaimana diatur berdasarkan Pasal 51 ayat (1) PP 24/1997, yang berbunyi:
Pembagian hak bersama atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun menjadi hak masing-masing pemegang hak bersama didaftar berdasarkan akta yang dibuat PPAT yang berwenang menurut peraturan yang berlaku yang membuktikan kesepakatan antara para pemegang hak bersama mengenai pembagian hak tersebut.