Mohon solusi terhadap permasalahan yang saya hadapi, pak/bu JPN. Saya telah menjalin hubungan dengan pacar saya selama beberapa bulan dan saya berniat untuk menikahi pacar saya. Beberapa waktu yang lalu saya baru mengetahui bahwa pacar saya tersebut masih berstatus menikah namun tidak diketahui dimana suaminya sekarang, dikarenakan sang suami telah meninggalkan pacar saya tanpa alasan yang jelas dan tidak ada kabar selama kurang lebih 4 (empat )Tahun. Apakah masih diperbolehkan bagi saya untuk menikahi pacar saya tersebut?
Halo R** R*****,
Terima kasih atas kepercayaan Saudara kepada halo JPN. Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara adalah sebagai berikut :
Perlu diketahui bahwa salah satu syarat untuk melakuan perkawinan adalah calon pengantin harus bebas dan tidak terikat perkawinan dengan orang lain, hal ini tercantum dalam Pasal 9 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) yang menyatakan:
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini
Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU Perkawinan sendiri mengatur mengenai seorang lelaki yang akan berpoligami. Dengan ketentuan Pasal ini seseorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, bila seorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain, kemudian ia melakukan perkawinan maka perkawinannya itu menjadi tidak sah karena telah melanggar syarat perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU Perkawinan.
Bahwa keadaan dimana seorang istri yang ditinggal pergi tanpa adanya kabar dan kejelasan dalam Hukum Islam disebut dengan Mafqud yang berasal dari Bahasa Arab Faqada Yafqidu Fiqdanan Fuqdanan Fuqudan, yang artinya hilang atau lenyap. Secara istilah Mafqud Berarti orang yang hilang dan telah terputus indormasi tentang dirinya sehingga tidak diketahui lagi tentang keadaan yang bersangkutan, apakah dia masih hidup atau sudah wafat. Hal ini sejalan dengan peristiwa yang disampaikan oleh Bapak Rio Rizki bahwa pasangan wanitanya pun tidak lagi mengetahui keberadaan suaminya apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia.
Dalam Pasal 40 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa dilarang kawin dengan wanita yang masih terikat satu perkawinan dengan pria lain, disatu pihak, dan di pihak lain dinyatakan dalam pasal 71 huruf (b) KHI bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang Mafqud
UU Perkawinan mengatur bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsugkan perkawinan. UU Perkawinan tidak membedakan perkawinan yang tidak memenuhi syarat kepada perkawinan yang batal dan perkawinan yang dapat dibatalkan, tidak sebagaimana KHI.
UU Perkawinan hanya menyebut perkawinan dapat dibatalkan bila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melakukan perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22, tidak sebagaimana KHI yang menyebut batalnya perkawinan dan perkawinan dapat dibatalkan, yaitu dalam Pasal 70 dan 71.
Bahwa Pasal 22 UU Perkawinan berbunyi :
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 70 KHI menjelaskan sebagai berikut :
Perkawinan batal apabila :
Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak rajI;
Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang Undang No. 1 tahun 1974, yaitu :
Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya.
Sehingga dari ketentuan Pasal 70 KHI ini dapat disimpulkan bahwa perkawinan yang batal adalah perkawinan yang tidak memenuhi syarat pada rukun nikah calon suami dan calon isteri, yaitu ada yang tidak memenuhi syarat pada calon suami, ada yang tidak memenuhi syarat pada calon isteri dan ada yang tidak memenuhi syarat pada calon suami dan calon isteri secara bersama-sama.
Perkawinan yang tidak memenuhi syarat pada calon suami adalah perkawinan yang dilakukan oleh calon suami yang sudah memiliki 4 orang isteri, walaupun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raji.
Sedangkan Perkawinan yang tidak memenuhi syarat pada calon isteri adalah perkawinan yang dilakukan oleh calon isteri yang calon isteri itu adalah:
Bahwa Perkawinan yang tidak memenuhi syarat pada calon suami dan calon isteri secara bersama-sama adalah perkawinan yang dilakukan oleh calon suami dan calon isteri yang melanggar larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 8 UU Perkawinan, yaitu:
Bahwa Pasal 70 KHI tidak pernah menyebut perkawinan yang tidak memenuhi syarat pada rukun nikah yang lain, seperti pada wali dan saksi atau akad (ijab dan kabul), hanya perkawinan yang tidak memenuhi syarat pada calon suami dan calon isteri.
Bahwa terdapat ketentuan Pasal 71 KHI selengkapnya sebagai berikut:
Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila :
Berdasarkan ketentuan Pasal 71 KHI ini dapat disimpulkan bahwa perkawinan yang dapat dibatalkan adalah perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan rukun perkawinan, tetapi batal atau tidaknya perkawinan itu diserahkan kepada suami isteri yang dirugikan akibat dari perkawinan itu. Kalau ada yang membatalkan, maka perkawinan itu mungkin dapat batal, tetapi kalau tidak ada yang membatalkan, maka perkawinan itu tidak menjadi batal.
Bahwa dengan ketentuan Pasal 70 KHI dan 71 KHI dapat ditarik kesimpulan suatu perkawinan itu batal apabila perkawinan itu tidak memenuhi salah satu rukun perkawinan, terutama pada rukun perkawinan calon suami dan calon isteri, yang menjadikan perkawinannya itu sendiri sudah batal. Esensi perkawinannya tidak terpenuhi yang mengakibatkan perkawinannya menjadi tidak sah, batal dengan sendirinya dan untuk formalnya harus ada yang membatalkan. Sedang perkawinan itu dapat dibatalkan apabila perkawinan itu kurang memenuhi syarat perkawinan. Batal tidaknya perkawinan itu tergantung dari pihak yang dirugikan dengan perkawinan itu. Kalau pihak yang dirugikan mau membatalkan perkawinannya maka perkawinannya menjadi batal tetapi kalau pihak yang dirugikan itu tidak membatalkan perkawinannya, maka perkawinannya tidak menjadi batal.
Bahwa dalam ketentuan Pasal 71 KHI dalam huruf (b) dinyatakan perkawinan antara seorang pria dengan seorang perempuan yang ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang Mafqud termasuk dalam perkawinan yang dapat dibatalkan.
Bahwa UU Perkawinan menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh suami isteri, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang tetapi seorang isteri hanya boleh memiliki seorang suami. Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan:
Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami.
Sedangkan Pasal 3 ayat (2) menyatakan :
Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Sehingga dari ketentuan ini dapat diketahui bahwa UU Perkawinan menganut asas monogami, seorang suami hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami.
Bahwa seorang perempuan yang suaminya Mafqud tetap saja masih berada dalam ikatan perkawinan dengan suaminya yang mafqud itu sebelum secara resmi bercerai berdasarkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu seorang perempuan yang suaminya Mafqud tidak bisa menikah lagi dengan orang lain. Kalau mau menikah dengan orang lain, maka ia harus terlebih dahulu bercerai dengan suaminya yang mafqud itu dan habis masa iddah-nya.
Demikian Kami sampaikan, apabila Saudara masih memiliki pertanyaan lain yang ingin disampaikan, Saudara dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos pelayanan Hukum Kami yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Sambas secara gratis.