Assalamu'alaikum Bapak/Ibu Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Negeri Aceh Utara, sebelumnya saya sangat mengapresiasikan Kejaksaan dalam memberikan Pelayanan Hukum Gratis melalui Halo JPN ini kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat bebas berkonsultasi dengan Kejaksaan khususnya di bidang perdata.
ijinkan saya Iqbal bertanya sedikit tentang bagaimana cara pelaksanaan sita marital atas harta bersama akibat perceraian? dan bagaimana peraturan yang mengatur nya?
Terima kasih Untuk Waktu serta Jawabannya
wa'alaikumsalam warahmatullahi wabaraktuh.
terima kasih sebelumnya kami ucapkan kepada sdr. Iqbal atas apresiasinya kepada kami.
kami akan menjawab permasalahan hukum saudara terkait dengan sita marital.
Sita marital atau sita harta bersama, menurut M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan Pengadilan (hlm. 369), memiliki tujuan utama untuk membekukan harta bersama suami-istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara atau pembagian harta bersama berlangsung. Pembekuan harta bersama di bawah penyitaan, berfungsi untuk mengamankan atau melindungi keberadaan dan keutuhan harta bersama atas tindakan yang tidak bertanggung jawab dari tergugat.
Sita marital bagi perceraian suami-istri yang beragama Islam/muslim diatur Pasal 78 huruf c UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama) Jo. Pasal 95 dan Pasal 136 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pasal 78 huruf c UU Peradilan Agama menyebutkan : selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat, pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.
Pasal 95 KHI menyebutkan :
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2), huruf c Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 serta pasal 136 ayat (2), suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya.
(2) Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
Pasal 136 ayat (2) KHI Menyebutkan : Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atau permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat :
a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.
b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.
Pasal 95 KHI memungkinkan untuk dilakukan sita marital oleh seorang suami/istri dalam suatu perkawinan tanpa melakukan gugatan perceraian. Sedangkan, Pasal 136 ayat (2) KHI mengatur sita marital yang dilakukan selama berlangsungnya sidang perceraian. Jadi, berdasarkan Pasal 95 KHI dan Pasal 136 ayat (2) KHI, pelaksanaan sita marital hanya dapat dilakukan oleh seorang suami/istri yang masih terikat dalam ikatan perkawinan dengan cara mengajukan permohonan sita marital kepada Pengadilan Agama.
Di sisi lain, terdapat kemungkinan pengadilan mengabulkan gugatan perceraian tanpa memutuskan sesuatu mengenai pembagian harta bersama,. Dalam hal seperti ini, menurut Yahya Harahap (hlm. 373), bila mantan suami-istri tersebut ingin membagi harta bersama, hanya dapat dilakukan melalui gugatan perdata tentang pembagian harta bersama.
Jadi, sita marital tidak dapat digunakan untuk membagi harta bersama jika pengadilan telah mengabulkan gugatan perceraian pasangan suami-istri. Dalam kondisi demikian, pembagian harta bersama hanya dapat dilakukan melalui gugatan perdata.
Sekian dari Kami Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Negeri Aceh Utara, semoga jawaban kami dapat membantu permasalahan hukum yang saudara hadapi.
Terima Kasih.