pada kejadiannya dalam wilayah suku abui terdapat sistim pembagian warisan yang mengkuti sistem patrinial yaitu pembagian warisan mengikuti laki-laki dan hanya laki laki lah yang memperoleh hak suatu benda dalam waris mewarisi. markus maukari yaitu tamukung atau ketua adat mempunyai lima orang istri dan markus maukari mempunyai tiga bidang tanah harta peniggalan bapak isak maukari yang sudh almarhum dan bukan harta bersama dari kelima istri , dari benda tidak begerak ini,yang satu bidang tanah tempat rumah kediaman itu di bangun dan dua bidang tanah lagi dijadikan kebun hasil usahaatas perkawinan adat yang terjadi
Dalam pertanyaan kali ini iyalah bagaimana pembagian warisan kelima istri yang tidak sah menurut undang-undang No 16 Tahun 2019 perubahan atas UU No 1 Tahun 1974 ttg perkawinan dikarenakan tidak menikah secara sah dan tidak diakui oleh negara dan hanya menikah secara adat atau disingkat nikah adat (Belis) . yang mana hanya anak dari istri nikalah yang mempunyai hak atas warisan mewarisi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.,,,??
kemudian pertanyaan yang kedua dari kelima istri semua nikah adat dan sah menurt hukum adat setempat ,siapakah yang berhak mendapat warisan rumah kediaman saat ini dan bagaimana pembagian kedua bidang tanah ini atas kelima istri,,,?????
Terima kasih atas kepercayaannya kepada Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Tinggi Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur untuk menjawab permasalahan yang sedang dihadapi Saudara.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini adalah Undang-undang No.32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, dan Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Perkawinan.
Dengan demikian, suatu perkawinan dianggap sah bila telah memenuhi persyaratan dan ketentuan baik itu berdasarkan peraturan perundang-undangan dan berdasarkan aturan agama dan kepercayaan dari yang melakukan perkawinan.
Sesaat setelah dilangsungkan perkawinan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Akta tersebut juga ditanda-tangani oleh kedua orang saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandangani oleh Wali Nikah atau yang mewakilinya. Dengan penandatanganan akta perkawinan tersebut maka perkawinan itu telah tercatat secara resmi serta adanya akta perkawinan itu maka suami istri bersangkutan mempunyai alat bukti yang sah berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pertama-tama perlu kami jelaskan dulu bahwa hukum waris di Indonesia masih bersifat pluralisme karena pada saat ini masih berlaku tiga sistem hukum kewarisan yaitu:
Penggolongan ini bukanlah sesuatu yang mutlak, artinya para pihak diberikan ruang untuk memilih dan menyepakati hukum waris mana yang ingin mereka gunakan.
Terdapat 4 golongan besar yang berhak menjadi pewaris, golongan tersebut adalah:
Golongan-golongan ini diajukan berdasarkan urutannya. Yang juga berarti jika ahli waris golongan I masih ada, golongan II tidak bisa mewarisi harta peninggalan pewaris.
Setiap anak yang dilahirkan di luar suatu ikatan perkawinan yang sah adalah merupakan anak luar kawin. Berdasarkan ketentuan KUHPerdata Anak luar kawin dianggap tidak mempunyai hubungan hukum apapun dengan orang tuanya apabila tidak ada pengakuan dari ayah maupun ibunya, dengan demikian bila anak luar kawin tersebut diakui maka ia dapat mewaris harta peninggalan dari orang tua yang mengakuinya, dan tentunya pembagian warisan berdasarkan Undang-undang. Akan tetapi, disatu sisi juga dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan yaitu UU No.1 tahun 1974 (Pasal 43 ayat 1), maka anak luar kawin yang tidak diakui pun dengan otomatis mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Dengan demikian, maka keharusan seorang ibu untuk mengakui anak luar kawinnya seperti yang disebutkan dalam Burgerlijk Wetboek adalah tidak diperlukan lagi. Begitu juga telah ditegaskan di dalam Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang merupakan bagian dari reformasi hukum, sehingga si anak juga mempunyai hubungan yuridis dengan ayah biologisnya apabila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum (misalnya tes DNA). Anak luar kawin yang dapat diakui adalah berdasarkan Pasal 272 B.W, yakni: Anak luar nikah yang dapat diakui adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu tetapi yang tidak dibenihkan oleh seorang pria yang berada dalam ikatan perkawinan sah dengan ibu."
Oleh karena itu, apabila didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, anak luar kawin berhak mendapatkan bagian waris dari ayahnya apabila ada pengakuan dari ayahnya atau ada bukti yang sah berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi bahwa ia benar anak kandung dari sang ayah sedangkan anak luar kawin berhak mendapatkan waris dari ibunya tanpa perlu pengakuan dari ibunya.
Berdasarkan Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), apabila Pewaris meninggal dunia dan meninggalkan suami atau istri yang hidup terlama beserta anak atau keturunannya, mereka mewaris bagian yang sama besarnya. Ahli waris ini disebut sebagai ahli waris Golongan I. Oleh karena itu, berdasarkan pertanyaan Saudara dapat kami simpulkan:
Demikian kami sampaikan, apabila Saudara masih memiliki pertanyaan lain yang ingin disampaikan, Saudara dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum Kami yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur secara gratis.