Gereja Katholik Paroki Hati Kudus berdiri tegak di kawasan Simpang Lima, Banda Aceh. Lokasinya, hanya berjalan beberapa menit dari arah Masjid Raya Baiturrahman, menyeberangi jembatan di atas sungai Krueng Aceh, menuju kawasan Simpang Lima. Gereja ini dibangun pemerintah kolonial Belanda pada 1926. Selanjutnya Gereja katholik ini bukan satu-satunya rumah ibadah non-Muslim di Banda Aceh. Tak jauh dari sana, di Jalan Pocut Baren, ada Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB); bersebelahan dengan sekolah Methodis. Di kawasan Peunayong Banda Aceh, juga bisa ditemukan vihara, misalnya Vihara Darma Bhakti.
nah, Aceh yang telah memiliki Qanun Jinayat, apakah terhadap non muslim dapat dikenakan hukum jinayat?
Salam Halo JPN
Terimakasih telah bertanya di Halo JPN KN Banda Aceh
Bahwa untuk menjawab pertanyaan Saudara dapat kami uraikan sebagai berikut :
Bahwa orang non-Muslim yang melakukan tindak pidana (jarimah) bersama-sama dengan warga Aceh beragama Islam, maka orang non-Muslim itu memilih dan menyatakan tunduk sukarela pada Qanun Jinayah. Tunduk sukarela ini juga dikenal dalam tindak pidana menyimpan dan memperdagangkan minum-minuman keras (khamar). Salah satu contohnya adalah L Liu alias YM sala seorang warga kota Sigli beragama Budha ini dituduh menyimpan dan memperdagangkan khamar, lalu Liu akhirnya diadili di Mahkamah Syariyah Sigli dengan menyatakan sebagai berikut :Bahwa terdakwa selaku penganut Budha...terdakwa telah menyatakan menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah yang berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, oleh karena itu terdakwa tidak berkeberatan dan bersedia disidangkan di Mahkamah Syariah Sigli. dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Syariyah Sigli No. 02/JN/2008/MSy-SGI.
bahwa Klausula tunduk sukarela dan keberlakuan qanun jinayah itu juga dinyatakan secara tegas dalam Pasal 129 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Ayat (1) pasal ini menyatakan: Dalam hal perbuatan jinayah yang dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama yang diantaranya beragama bukan Islam, pelaku yang beragama bukan Islam dapat memilih atau menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah. Selanjutnya, ayat (2) menyatakan: Setiap orang yang beragama bukan Islam melakukan perbuatan jinayah yang tidak diatur dalam KUHP atau ketentuan pidana di luar KUHP berlaku hukum jinayah.
Bahwa mengenai ayat (2) UU Pemerintahan Aceh juncto Pasal 5 huruf c Qanun Hukum Jinayah, Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Ciputat, Khamami Zada, memberi contoh khamar. KUHP hanya mensyaratkan anasir di muka umum agar seseorang yang minum khamar bisa dipidana. Qanun Jinayah tak mensyaratkan itu, sehingga orang yang melakukan jarimah itu tidak di depan umum pun bisa dipidana.
Bahwa selanjutnya mengenai Pasal 126 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyebutkan: (1) Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan mengamalkan syariat Islam; (2) Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam.
Di sini terlihat penggunaan asas subjek dan asas teritorial. Asas subjek mengandung arti siapapun yang beragama Islam; sedangkan asas territorial berarti berlaku untuk semua orang yang tinggal di Aceh. Prinsipnya, seseorang bebas menyatakan kapan tunduk sukarela. Menurut Prof. Al Yasa Abubakar, mantan Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, masalah pernyataan tunduk sukarela itu tak diatur karena sifatnya sukarela. Dia boleh menundukkan diri kalau dia mau
Demikian yang dapat kami sampaikan, terimakasih atas pertanyaan Saudara.