Pagi pak, bagaimana apabila pewaris sebelum meninggal berwasiat kepada anak"nya mengenai warisan yang harus dibagi rata, namun si pewaris hingga meninggal dunia tidak membuat wasiat dalam bentuk tulisan/surat wasiat hanya diucapkan secara lisan.
Kemudian setelah pewaris meninggal, beberapa ahli waris menginginkan jika harta waris itu dibagikan menurut hukum waris, sedangkan bbrapa ahli waris menginginkan jika harta waris harus dibagi rata sesuai dengan wasiat pewaris.
Pertanyaannya manakah yg harus di dahulukan, apakah sesuai wasiat atau sesuai hukum waris? Karna menurut pasal 874 KUHPER jika tidak ada ketetapan yg sah (surat wasiat) maka dianggap tidak sah, namun menurut KHI surat wasiat diucapkan secara lisan minimal 2 saksi termasuk sah.
Terima kasih
Terima kasih atas pertanyaan Saudari Putri Audadi kepada HaloJPN, adapun jawaban kami atas pertanyaan saudari adalah sebagai berikut:
Pada dasarnya, hukum waris yang berlaku di Indonesia secara umum ada 3 (tiga) yakni hukum waris adat, hukum waris islam dan hukum waris perdata. Oleh karena dalam pertanyaan saudari tidak menyebutkan hukumm waris mana yang dianut maka kami jelaskan berdasarkan ketiganya yang dapat dijadikan pedoman oleh saudari untuk memilih ketentuan hukum warisnya.
Sebagaimana yang Saudari ketahui, terkait wasiat dalam hukum waris Perdata memang benar disesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 874 KUHPerdata, yang kurang lebih mengatur sebagai berikut:
segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah.
Berdasarkan aturan di atas, secara hukum peninggalan ahli waris seluruhnya jatuh ke tangan ahli warisnya disesuaikan dengan pembagian golongan ahli waris ke dalam 4 (empat golongan) berdasarkan ketentuan Pasal 852 KUHPerdata.
Adapun berkenaan dengan ketetapan yang sah dimaksud berupa surat wasiat yang berisi ketetapan dari pewaris. Surat wasiat dalam hal ini menjadi salah satu penentu keabsahan dari suatu wasiat.
Pembagian warisan melalui wasiat juga harus disesuaikan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 913 KUHPerdata menerangkan bahwa bagian/hak mutlak atau legitieme portie adalah suatu bagian dari harta peninggalan di mana harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus menurut undang-undang, pada bagian sia yang meninggal tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu, sehingga baik pemberian antara yang masih hidup mapun selaku wasiat. Adanya Bagian mutlak agar ahli waris tidak dirugikan terhadap adanya surat waris.
Apabila hak mutlak tersebut dilanggar maka ada beberapa akibat hukum diantaranya: a) ketetapan wasiat itu BATAL; b) Ketetapan itu dapat dibatalkan secara sederhana; c) Ketetapan itu SAH akan tetapi, pewaris memiliki hak menuntut ganti kerugian apabila merasa dirugikan oleh bagian yang didapatnya.
Demikian, jika anda memilih hukum waris perdata sebagai langkah penyelesaian, mengingat wasiat dari pewaris juga tidak ditetapkan dalam bentuk surat wasiat secara sah, maka kembali pada ketentuan KUHPerdata bahwa harta warisan menjadi sepenuhnya milik ahli waris dan dibagikan berdasarkan ketentuan hukum waris perdata yang berlaku berdasarkan tingkatan golongan.
Wasiat dalam pandangan hukum waris Islam adalah penyerahan harta secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang tersebut wafat, baik harta itu berbentuk materi maupun berbentuk manfaat.
Dasar Hukumnya ada dalam Q.S. Al-Baqarah/2:180 yang artinya: diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tandatanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orangorang yang bertakwa. Dalam hal ini ulama fikih menetapkan bahwa hukum dasar dari wasiat itu adalah sunnah (dianjurkan).
Ulama dalam hal ini juga berpendapat bahwa pemberian wasiat kepada ahli waris hukumnya adalah HARAM, baik wasiat itu sedikit maupun banyak, karena Allah S.W.T telah membagikan faraid (Ilmu yang dengannya dapat diketahui siapa yang berhak mewarisi dengan rinci jatah warisnya masing-masing dan diketahui pula siapa yang tidak berhak mewarisi), maka pembagian wasiat untuk ahli waris dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap ketentuan Allah, karena wasiat itu akan memberikan tambahan kepada sebagian ahli waris yang telah diberikan harta waris kepadanya.
Ketentuan yang diperbolehkan adalah wasiat kepada orang lain selain ahli waris dengan ketentuan sebagaimana al musa bih, yakni wasiat tidak boleh melebihi sepertiga dari harta setelah dikurangi dengan semua hutang, sebab jika melebihi sepertiga berarti akan mengurangi hak ahli waris, juga ketentuan al-Musa lah yakni orang yang akan menerima hibah wasiat harus cakap untuk menerimanya, ia tidak termasuk ahli waris pemberi wasiat, dan harta yang diperoleh dari wasiat itu tidak boleh dipergunakan bertentangan dengan hukum.
Demikian, apabila saudari dengan ahli waris lain memilih hukum waris Islam sebagai dasar ketentuan maka harus didahulukan ketentuan sesuai ilmu faraid, dan mengabaikan wasiat si pewaris dengan dasar bahwa pemberian wasiat kepada ahli waris adalah haram menyebabkan melanggar ketentuan pembagian dari Allah S.W.T mengenai bagian warisan kepada ahli waris, sehingga wasiat pewaris tidak sah karena ditujukan kepada anak-anaknya yang menjadi ahli waris.
Pada hukum waris ini, kami menganjurkan saudari beserta ahli waris apabila beragama Islam untuk menjadikan hukum waris ini sebagai dasar ketentuan pembagian.
Sedangkan hukum waris adat adalah hukum local yang terdapat di suatu daerah ataupun suku tertentu yang berlaku, diyakini dan dijalankan oleh masyarakat-masyarakat daerah tersebut. Hukum waris adat di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Hukum waris adat tetap dipatuhi dan dilakukan oleh masyarakat adatnya terlepas dari Hukum waris adat tersebut telah ditetapkan secara tertulis maupun tidak tertulis.
Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi seperti dalam hukum waris perdata dan hukum waris islam, Akan tetapi jika ahli waris mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat warisan, maka ia dapat mengajukan permintaannya untuk menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya.
Pada intinya pembagian warisan berdasarkan Hukum Waris Adat sangat beragam dan tergantung pada ketentuan suatu Adat pada suatu daerah tersebut, dengan tetap memperhatikan prinsip keadilan antara para ahli waris.
Menurut hukum adat/kebiasaan, wasiat adalah pemberian yang dilaksanakan oleh seorang kepada ahli warisnya atau orang tertentu yang pelaksanaannya dilakukan setelah orang yang menyatakan wasiat itu meninggal. Wasiat dibuat karena berbagai alasan yang biasanya adalah untuk menghindarkan persengketaan, perwujudan rasa kasih sayang dari orang yang menyatakan wasiat, orang yang menyatakan akan melaksanakan haji dan orang yang menyatakan wasiat merasa ada ganjalan semasa hidupnya yang belum terpenuhi olehnya.
Orang yang menyatakan wasiat dapat mencabut kembali wasiat yang dinyatakannya itu atau telah diikrarkan, tetapi wasiat tersebut tidak dicabut sampai orang yang memberikan wasiat tersebut meninggal dunia. Maka para ahli waris harus menghormati adanya wasiat tersebut. Mengenai pelaksanaan wasiat dalam hukum adat, tidak perlu dilakukan dihadapan notaris, akan tetapi cukup diucapkan secara lisan dihadapan keluarga atau dihadapan para ahli waris yang hadir pada waktu pernyataan wasiat dilaksanakan atau pada waktu wasiat tersebut dibacakan.
Demikian, apabila saudari beserta ahli waris memilih secara adat, maka dapat dilakukan secara musyawarah untuk menentukan mufakat apakah akan melaksanakan wasiat dari pewaris atau tidak.
Itulah tadi jawaban kami, apabila saudari masih memiliki pertanyaan lain yang ingin ditanyakan, dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum kami yang berada di Kantor Pengacara Negara Kejaksaan Tinggi NTB secara Gratis.