Dalam hal ini hendak bertanya mengenai permasalahan yang saya hadapi:
Saya memiliki perjanjian dengan tetangga saya, dimana tetangga saya ingin melakukan jual beli sapi. Beberapa hari kemudian sapi tersebut mati sebelum sampai ke tangan saya pembeli. Apakah pembeli wajib membayar harga sapi tersebut?
Atas permasalahan yang disampaikan oleh Pemohon tersebut diatas, JPN (Jaksa Pengacara Negara) memberikan penjelasan dan arahan hukum secara langsung, yaitu dengan menjelaskan terlebih dahulu mengenai Jual Beli.
Jual beli sebagaimana diatur dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Prof. Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian (hal. 79) menjelaskan bahwa yang dijanjikan oleh pihak yang satu (pihak penjual), menyerahkan atau memindahkan hak miliknya atas barang yang ditawarkan, sedangkan yang dijanjikan oleh pihak yang lain (pihak pembeli), membayar harga yang telah disetujuinya. Kedua hal di atas merupakan unsur pokok dari perjanjian jual beli yaitu harga dan barang.
Selanjutnya, dalam perjanjian jual beli berlaku asas konsensualisme yang merupakan jiwa dari hukum perjanjian bahwa perjanjian lahir pada detik tercapainya sepakat mengenai harga dan barang. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1458 KUHPerdata:
Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.
Namun pernyataan sepakat tentang harga dan barang yang membuat jual beli dianggap sudah terjadi itu tidak secara otomatis mengalihkan hak kepemilikan atas benda tersebut. Perjanjian jual beli itu belum memindahkan hak milik sesuai dengan sifat dari jual beli yang baru memberikan hak dan meletakkan kewajiban pada kedua belah pihak (obligatoir). Perpindahan hak milik baru terjadi ketika dilakukan penyerahan (levering).
Prof. Subekti dalam bukunya Aneka Perjanjian (hal. 11) menjelaskan levering sebagai suatu perbuatan yuridis guna memindahkan hak milik (transfer of ownership) yang cara pengalihanya bergantung pada macam barang. Oleh para sarjana Belanda malahan levering itu dikonstruksikan sebagai suatu Zakelijke overeenkomst atau persetujuan tahap kedua setelah persetujuan jual beli yang khusus untuk memindahkan hak milik dari penjual kepada pembeli. Perpindahan hak milik melalui penyerahan tersebut diatur dalam Pasal 1459 KUHPerdata:
Hak milik atas barang yang dijual tidak pindah kepada pembeli selama barang itu belum diserahkan menurut Pasal 612, 613 dan 616.
Penyerahan berdasarkan Pasal 612, 613 dan 616 KUHPerdata didasarkan pada macam atau jenis bendanya yang nantinya dari macam benda tersebut ditentukan lagi macam penyerahanya sebagai berikut:
Penting untuk dapat membedakan macam benda agar dapat mengetahui mekanisme peralihan yang tepat. Benda sendiri memiliki berbagai macam penggolongan seperti benda berwujud dan tak berwujud, yang dapat habis dan tidak dapat habis, yang sudah ada dan masih akan ada, yang dapat dibagi dan yang paling erat kaitanya dengan penyerahan adalah macam benda bergerak dan tidak bergerak. Sapi jika dilihat dari sifatnya ialah kebendaan yang dapat berpindah atau dipindahkan berdasarkan yang memenuhi unsur Pasal 509 KUHPerdata:
Barang bergerak karena sifatnya adalah barang yang dapat berpindah sendiri atau dipindahkan.
Oleh karena itu, sapi dikategorikan sebagai benda bergerak. Untuk mendukung argumentasi bahwa sapi adalah benda bergerak, Ny. Frieda Husni Hasbullah dalam bukunya Hukum Kebendaan Perdata Hak-Hak yang Memberikan Kenikmatan Jilid I (hal. 43-46) menentukan bahwa suatu benda termasuk dalam golongan benda bergerak ditentukan berdasarkan:
Dari penjelasan diatas jelas bahwa sapi adalah benda bergerak yang mana cara pengalihan (levering) untuk benda bergerak adalah dilakukan dengan penyerahan nyata atas suatu benda sebagaimana diatur dalam Pasal 612 KUHPerdata yang telah dijelaskan sebelumnya.
Ny. Frieda Husni Hasbullah dalam buku yang sama (hal. 120-121) mengkategorikan penyerahan menjadi dua, yaitu penyerahan nyata (feitelijke levering) dan penyerahan juridis (juridische levering). Penyerahan nyata adalah penyerahan dari tangan ke tangan dan yang diserahkan adalah benda-benda bergerak yang mana penyerahan nyata dan juridis jatuh pada saat bersama yaitu saat diserahkanya barang secara nyata ke tangan pembeli. Dalam kasus diatas, belum terjadi penyerahan nyata karena sapi tidak pernah sampai ke tangan si pembeli.
Relevansi dari penyerahan (levering) sebagai pengalihan hak milik adalah untuk memberikan gambaran terkait dengan pertanggungjawaban terhadap risiko. Risiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) di luar kesalahan salah satu pihak. Pasal 1460 KUHPerdata menyatakan sebagai berikut:
Jika barang yang dijual itu berupa barang yang sudah ditentukan, maka sejak saat pembelian, barang itu menjadi tanggungan pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan penjual berhak menuntut harganya.
Perlu diketahui bahwa ketentuan di atas sudah tidak berlaku lagi berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 1963 tentang Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang-Undang (SEMA 3/1963). Pasal 1460 KUHPerdata merupakan ketentuan yang disadur dari Code Civil Perancis yang menganut aliran berbeda terkait dengan pemindahan hak milik. Code civil perancis menyatakan bahwa perpindahan hak milik itu dimulai sejak ditutupnya perjanjian yang mana hal tersebut berbeda dengan perpindahan hak milik di Indonesia yang dimulai sejak dilakukannya penyerahan (levering).
Prof. Subekti juga menyatakan bahwa dengan adanya konsep kepemilikan dan peralihan hak milik melalui levering, maka dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban terhadap barang (apapun macamnya) risikonya masih harus dipikul oleh penjual yang merupakan pemilik barang itu sampai dengan adanya peralihan kepemilikan.
Selain itu jika ditinjau dari hapusnya suatu perikatan, Pasal 1381 KUHPerdata mengatur beberapa penyebab hapusnya perikatan dan salah satunya adalah musnahnya barang yang terutang yang diatur dalam Pasal 1444 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
Jika barang tertentu yang menjadi bahan perjanjian, musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar salahnya si berutang, dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
Ketentuan Pasal 1381 KUHPerdata memang sebenarnya ditujukan sebagai suatu pembelaan untuk debitur yang gagal dalam melaksanakan prestasinya karena hal-hal di luar kendalinya, namun poin penting dalam pasal ini adalah bahwa perikatan itu menjadi hapus dengan musnahnya barang yang diperdagangkan. Dengan hapusnya perikatan berarti hapus pula segala hak dan kewajiban, termasuk hak debitur untuk meminta uang pembayaran dan kewajiban kreditur untuk melakukan pembayaran.
Karena sapi tersebut belum diserahkan yang berarti hak milik masih berada di tangan penjual, maka kematian terhadap sapi itu masih merupakan tanggung jawab dari penjual. Oleh sebab itu, pembeli tidak berkewajiban untuk melakukan pembayaran terhadap harga sapi. Selain itu jika ditinjau dari Pasal 1381 KUHPerdata sebagai salah satu penyebab hapusnya perikatan, maka pembeli tidak perlu membayar harga dari barang tersebut karena perikatan menjadi hapus dengan musnahnya barang tersebut.