Halo, saya ingin bertanya. Saya dan kedua orang tua beragama Islam dan ingin menanyakan perihal mengurus pembuatan surat putus waris. Tujuan saya membuat surat putus waris adalah kedua orang tua saya tidak bertanggung jawab dan saya baru tahu mereka mempunyai utang di mana-mana yang jumlahnya cukup besar yang saya sudah pasti tidak bisa membayar utang tersebut apabila utang tersebut dilimpahkan kepada saya. Saat ini kondisi mereka masih hidup. Saya mempunyai 2 adik kandung. Apakah menolak warisan utang ini diperbolehkan dalam hukum waris Islam? Jika boleh, apa saja langkah-langkah yang harus ditempuh untuk bisa mengurus surat putus waris ini? Terima kasih.
Terima kasih atas kepercayaan Saudara kepada halo JPN Kejaksaan Negeri Baubau Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara adalah sebagai berikut:
Jawaban ini dibuat dengan asumsi bahwa kedua orang tua Saudara juga beragama Islam sehingga hukum waris yang berlaku yakni hukum waris Islam.
Perlu kami sampaikan bahwa mengingat Saudaradan kedua orang tua beragama Islam, maka hukum waris yang berlaku adalah hukum waris Islam. Sebagai catatan, hukum waris dalam Islam sendiri tidaklah mengenal penolakan waris. Hal ini disebabkan asas hukum waris dalam Islam bersifat memaksa atau dikenal dengan istilah ijbari.
Dengan demikian, hubungan antara pewaris dan ahli waris tetap ada sepanjang tidak ada yang menyebabkan ahli waris menjadi terhalang, seperti dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris atau dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Lebih lanjut, mengutip Amir Syarifuddin, H. Mohammad Daud Ali dalam bukunya Hukum Islam menerangkan bahwa asas ijbari merupakan peralihan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris atau ahli warisnya. Adapun unsur memaksa dalam hukum kewarisan Islam itu terlihat, terutama, dari kewajiban ahli waris untuk menerima perpindahan harta peninggalan pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah yang ditentukan Allah SWT di luar kehendaknya sendiri (hal. 301).
Atas penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa Saudara tidak dapat membuat surat putus waris. Pasalnya, berdasarkan hukum waris Islam yang sifatnya memaksa, Saudara merupakan ahli waris sepanjang Saudara memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
Akan tetapi, mengingat pokok permasalahan dalam kasus ini adalah kekhawatiran Saudara tentang utang orang tua Anda semasa hidup yang akan diwariskan kepada Saudara di kemudian harinya, dalam KHI hal tersebut telah dibatasi. Dalam hal ini, tanggung jawab ahli waris terhadap utang hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 175 KHI yang berisi ketentuan berikut.
Dengan demikian dari itu, Saudara tidak akan bertanggung jawab terhadap utang-utang orang tua Saudara kepada pihak ketiga (penagih utang) kecuali sebatas jumlah atau nilai harta yang ditinggalkan saja.
Demikian Kami sampaikan, apabila Saudara masih memiliki pertanyaan lain yang ingin disampaikan, Saudara dapat berkonsultasi secara langsung ke Pos Pelayanan Hukum Kami yang berada di Kantor Pengacara Negara pada Kejaksaan Negeri Baubau secara gratis.