Apakah di benarkan bagi pemerintah untuk mengambil dan menguasai tanah adat? Apakah masyarakat adat dapat menolak jika pemerintah ingin menguasai tanah adat untuk di kuasai sumber daya yang di milikinya?
Terima kasih telah mengajukan pertanyaan kepada kami melalui Halo JPN.
Kami akan mencoba menjawab pertanyaan Saudara.
Sebelum menjawab pertanyaan Saudara, terlebih dahulu kami menjelaskan apa yang dimaksud dengan tanah adat. Bahwa dalam Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 5 tahun 1999 menyebutkan tanah adat adalah tanah yang hak ulayat yang dari hukum adat tertentu. Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dulu.
Apakah dibenarkan Pemerintah untuk mengambil dan menguasai tanah adat ???
Berikut penjelasannya .
Dalam konstelasi hukum Indonesia, keberadaan masyarakat adat dan tanah adat diakui dalam UUD 1945 Pasal 18 (B) ayat (2) dan ayat (3), yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Selain itu, Pasal 3 UUPA juga menyebutkan tentang penghormatan dan perlindungan hak ulayat masyarakat hukum adat. Mengenai penetapan hak komunal atas tanah masyarakat hukum adat, negara juga telah mengeluarkan PMNA/Ka. BPN No. 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada di Kawasan Tertentu, PMNA/Ka. BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, dan Permen ATR/BPN No. 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada di Kawasan Tertentu.
Dalam pengadaan tanah untuk pembangunan (PTUP), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 juga telah menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat merupakan salah satu dari pihak yang berhak menerima ganti kerugian (penjelasan Pasal 40). UU tersebut juga menyebutkan bahwa ganti kerugian atas tanah ulayat dapat berupa tanah pengganti, permukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh masyarakat hukum adat tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Sumardjono (2008) bahwa selain bentuk-bentuk ganti kerugian dalam ketentuan perundangan, perlu juga dipikirkan bagaimana cara agar masyarakat setempat tidak kehilangan sumber kehidupan/mata pencahariannya sehingga terjamin kelangsungan hidup mereka, bahkan diupayakan kualitas hidup mereka meningkat. Meskipun begitu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tidak secara spesifik membahas mengenai bagaimana mekanisme pengadaan tanah bagi tanah adat ataupun tanah ulayat. Hal ini juga tidak diatur secara lebih eksplisit pada peraturan perundangan turunannya mengenai pengadaan tanah, seperti Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 2012, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13 Tahun 2013.
Mengenai hak kepemilikan atas tanah, sifatnya tidak mutlak, artinya apabila kepentingan Negara atau kepentingan umum menghendaki, hak kepemilikan perorangan atau badan usaha atas sebidang tanah dapat dicabut dengan pemberian ganti rugi. Prinsip ini dianut baik dalam KUHPerdata maupun dalam UUPA.
Pasal 570 KUHPerdata Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan.
Pasal 16 ayat 4 UUPA Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.
berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka menurut pendapat kami adalah Pemerintah dalam hal ini negara dapat mengambil atau menguasai tanah adat sepanjang hal tersebut tujuannya untuk kepentingan negara atau kepentingan umum dengan mempertimbangkan ganti kerugian berupa tanah pengganti, permukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh masyarakat hukum adat tersebut.
Apakah masyarakat adat dapat menolak jika pemerintah ingin menguasai tanah adat untuk di kuasai sumber daya yang dimilikinya?
UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
UUPA Pasal 4 ayat (2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Berdasarkan pengertian pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan pasal 4 ayat (2) tersebut, hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, tepatnya hanya meliputi sebagian tertentu permukaan bumi yang terbatas, yang disebut bidang tanah. Hak atas tanah tidak meliputi tubuh bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Asas yang hanya mengakui hak atas tanah adalah terbatas pada hak atas permukaan bumi saja disebut dengan asas pemisahan horisontal. Asas pemisahan horisontal adalah asas dimana pemilikan atas tanah dan benda atau segala sesuatu yang berada di atas tanah itu adalah terpisah. Asas pemisahan horisontal memisahkan tanah dan benda lain yang melekat pada tanah itu. Asas pemisahan horisontal adalah asas yang didasarkan pada hukum adat dan merupakan asas yang dianut oleh UUPA.
Penjelasan tersebut diatas dapat diartikan bahwa sepanjang sumber daya alam yang terkandung didalam tanah adat akan ditujukan untuk kepentingan negara/umum yang akan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat maka masyarakat adat tidak dapat menolak.
Terima Kasih semoga menjawab pertanyaan Saudara
Dasar Hukum :