Bahwa untuk menjawab permasalahan hukum tersebut kami selaku Jaksa Pengacara Negara mengacu pada aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), merujuk pada pertanyaan Sdr. Petrus, permasalahan tersebut berkaitan dengan prinsip dari pewarisan dalam KUH Perdata yang mengatur demikian :
Pasal 830 KUH Perdata
Pewarisan hanya terjadi karena kematian
Pasal 832 KUH Perdata
Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama,menurut peraturan-peraturan berikut ini.
Bila keluarga sedarah dan suami atau isteri yang hidup terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik negara, yang wajib melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut, sejauh harta peninggalan mencukupi untuk itu.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa harta waris baru terbuka kepada orang lain apabila terjadi kematian pada pewaris, dan berdasarkan prinsip tersebut pihak yang berhak mewarisi hanyalah orang yang mempunyai hubungan darah dan perkawinan dengan pewaris, yakni keturunan langsung seperti orangtua, anak, saudara, nenek atau kakek pewaris.
Dalam ketentuan KUH Perdata terdapat 4 (empat) golongan besar yang berhak mewarisi harta pewaris, yakni diantaranya :
Golongan I (Pasal 852 KUH Perdata)
Yakni suami atau istri dan keturunannya dalam garis lurus ke atas yang hidup terlama, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu, mereka mewarisi bagian yang sama besarnya bila dengan yang meninggal (pewaris) mereka semua bertalian keluarga dalam derajat pertama, dan masing-masing berhak karena dirinya sendiri.
Golongan II (Pasal 853 KUH Perdata)
Yakni orangtua atau saudara kandung pewaris, apabila yang meninggal (pewaris) tidak meninggalkan keturunan, suami, isteri, saudara laki-laki atau perempuan, maka harta peninggalannya harus dibagi dua sama besar, yakni satu bagian untuk keluarga sedarah dalam garis lurus ayah ke atas, dan satu bagian lagi untuk keluarga garis lurus ibu ke atas.
Golongan III (Pasal 856 KUH Perdata)
Yakni keluarga setelah bapak dan ibu pewaris dalam garis lurus ke atas, bila seorang yang meninggal (pewaris) tanpa meninggalkan seorang keturunan ataupun suami dan isteri, sedangkan bapak dan ibunya telah meninggal lebih dahulu, maka saudara laki-laki dan perempuan mewarisi seluruh warisannya.
Golongan IV (Pasal 858 KUH Perdata)
Yakni paman atau bibi baik dari pihak ibu maupun pihak bapak, serta keturunan dari paman maupun bibi yang sederajat, yakni bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan keluarga sedarah yang masih hidup dalam garis ke atas, maka keluarga sedarah terdekat dalam tiap-tiap garis ke samping masing-masing mendapat warisan separuhnya.
Penjelasan tersebut di atas, menerangkan tingkatan ahli waris yang lebih didahulukan berdasarkan urutannya, dalam artian ahli waris golongan II tidak dapat mewarisi harta peninggalan pewaris dalam hal ahli waris golongan I masih ada, sehingga terhadap permasalahan yang Sdr. Petrus tanyakan maka almarhum orangtua saudara merupakan ahli waris golongan I yang berhak sepenuhnya atas harta peninggalan dari almarhum kakek anda, yakni rumah yang dihuni oleh pihak ketiga yang merawat almarhum kakek anda terdahulu.
Dalam hal pihak ketiga tersebut tidak memiliki hubungan kewarisa dengan almarhum orangtua maupun almarhum kakek saudara, maka pihak tersebut tidak termasuk ahli waris yang berhak atas harta peninggalan, kecuali terdapat wasiat untuk pihak ketiga tersebut.
Demikian berita acara ini dibuat dengan sebenarnya, kemudian ditutup dan ditandatangani pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut diatas.