bagaimana hukum perkawinan beda agama di indonesia ?
Halo Murjani,
Terimakasih atas kepercayaan Saudara kepada layanan halo JPN. Adapun jawaban Kami atas pertanyaan Saudara adalah sebagai berikut:
Pengertian Perkawinan Beda Agama
Perkawinan beda agama menurut Eoh adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Dari pengertian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa perkawinan beda agama adalah perkwinan diantara dua orang yang berbeda agamanya dan masing-masing diantara mereka tetap mempertahankan agama yang dianutnya.
Perkawinan beda agama Menurut Staatblad 1898 No. 158
Perkawinan beda agama pertama kali diatur oleh Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) Koninklijk Besluit van 29 desember 1896 No.23, Staatblad 1898 No.158. menurut peraturan ini perkawinan beda agama termasuk dalam perkawinan campir yang ketentuannya diatur dalam Pasal & ayat (2), yakni :
Perbedaan agama, golongan, penduduk atay asal usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan
Legalitas Perkawinan campur peraturan tersebut tidak berlaku lagi semenjak adanya pasal 57 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sehingga menurut pasal 57 UU tersebut, perkawinan beda agama tidak termasuk perkawinan campuran.
Perkawinan beda agama Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Dasar Hukum pelaksanaan perkawinan di Indonesia terdapat pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau UUP. Menurut UU ini Perkawinan beda agama belum diatur secara rinci dan konkrit. Maksudnya adalah tidak ada kata yang eksplisit mengatur maupun melarang perkawinan beda agama. Akan tetapi, pada UU ini terdapat system norma penunjuk terkait hukum agama dan kepercayaan masing -masing Ketika hendak melangsungkan perkawinan. Hal tersebut, tertuang pada pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan syarat sahnya suatu perkawinan, yakni:
Rumusan pasal tersebut secara o contrario memberikan kesimpulan bahwa perkawinan yang tidak sejalan dan diluar hukum masing-masing kepercayaan dan agama, maka perkawinan tersebut tidak sah. Sedangkan, enam agama yang diakui di Indonesia memiliki aturan masing-masing dan cenderung melarang praktik perkawinan beda agama.
Selain itu, dalam pasal 2 UUP antara ayat 1 dan 2 harus saling terikat satu sama lain, sehingga apabila sudah dilangsungkan perkawinan secara sah menurut hukum agama, tetapi belum dicatatkan pada KUA untuk yang muslim ataupun Kantor Capil untuk non muslim, maka perkawinan tersebut belum diakui sah oleh negara.
Perkawinan beda agama Menurut Kompilasi Hukum Hukum Islam
Landasan yuridis lain dalam mengatur perkawinan yakni, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Dalam KHI perkawinan beda agama telah diatur dan hal tersebut tercantum secara jelas pada pasal 4, yakni:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum islam.
Selain pasal 4, Pasal 40 huruf c, pasal 44, pasal 61, dan pasal 116 huruf h juga mengatur terkait perkawinan beda agama.
Perkawinan Beda Agama Menurut UU No.23 Tahun 2006
Dalam UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Publik terdapat peluang untuk melegalisasi perkawinan beda agama. Maksud melegalisasi disini adalah adanya opsi mengajukan permohonan dan memutus persoalan perkawinan beda agama ke Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri memiliki kewnangan memeriksa dan mengeluarkan penetapan perkawinan beda agama. Selain itu, Kantor Capil memiliki kewenangan melakukan pencatatan perkawinan beda agama kedalam register Pencatatan Perkawinan.
Dasar hukum dalam melakukan hal itu, terdapat pasal 35 huruf a, pasal 34, dan pasal 36 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kepedudukan. Adanya pasal-pasal tersebut, terutama Pasal 35 huruf a bertentangan dengan Pasal 2 UUP, karena memberikan jalan untuk mengizinkan perkawinan beda agama yang menurut UUP dianggap tidak sah.
Keluarnya Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 merupakan petunjuk bagi hakim mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda gama dan kepercayaan. Dengan keluarnya SEMA tersebut memberikan kesatuan juga kepastian hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan beda agama dan kepercayaan. Dalam mengadili perkawinan beda agama para hakim harus berpedoman pada ketentuan: