Ass.wr.wb bapak / ibu jaksa pengacara negara kejati bengkulu saya mau bertanya bagaimna langkah hukum yang diambil untuk teman yg tdk membayar hutang..tidak ada perjanjian tettulis hanya lisan saja.mksh
Hallo sahabat JPN, Terimakasih atas pertanyaan yang telah di ajukan oleh bpk/ibu, Tentang permasalahan hutang piutang
Utang piutang merupakan peristiwa dimana kreditur (pihak yang memberikan pinjaman) akan memberikan pinjaman kepada debitur (pihak yang menerima pinjaman) sejumlah uang yang harus dikembalikan beserta bunganya dalam jangka waktu yang telah disepakati. Biasanya utang piutang selalu dilakukan dengan perjanjian agar para pihak di dalamnya terikat secara hukum. Dalam KUHPerdata, utang piutang dapat dilakukan dengan perjanjian pinjam meminjam. Pasal 1754 KUHPerdata menyebutkan bahwa pinjam-meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah terntentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. .
mengenai alat bukti adanya perjanjian hutang memang lebih baiknya dibuat sebuah perjanjian, Berdasarkan ketentuan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian tersebut, tidak ada satu pun syarat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengharuskan suatu perjanjian dibuat secara tertulis. Dengan kata lain, suatu Perjanjian yang dibuat secara lisan juga mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Namun demikian, dalam proses pembuktian suatu perkara perdata, lazimnya alat bukti yang dipergunakan oleh pihak yang mendalilkan sesuatu (Vide Pasal 164 HIR) adalah alat bukti surat. Hal ini karena dalam suatu hubungan keperdataan, suatu surat/akta memang sengaja dibuat dengan maksud untuk memudahkan proses pembuktian, apabila di kemudian hari terdapat sengketa perdata antara pihak-pihak yang terkait. Di dalam hukum acara perdata mengatur bagaimana cara menegakkan hukum perdata materiil, terdapat 5 (lima) alat bukti yang diatur dalam Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)dan Pasal 164 HIR Alat-alat bukti tersebut terdiri dari:
Namun dalam praktik pelaksanaan perjanjian pinjam meminjam, banyak terjadi peristiwa dimana debitur lalai dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar utang kepada kreditur. Keadaan tersebut dapat dianggap wanprestasi atau keadaan dimana debitur tidak melaksanakan kewajibannya dengan tepat waktu/dilakukan tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. Lebih lanjut, wanprestasi diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan bahwa si berutang dinyatakan lalai/cidera janji apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis (somasi) atau berdasarkan dari perikatannya sendiri dianggap lalai karena telah lewat dari waktu yang ditentukan. Karena wanprestasi dapat terjadi akibat perikatan yang timbul antara kreditur dan debitur maka dalam utang piutang, penyelesaian kasus dapat diselesaikan melalui gugatan perdata. Agar debitur dinyatakan wanprestasi terhadap perjanjian utang piutang, kreditur harus mengajukan gugatan ke pengadilan terlebih dahulu. Jika amar putusan pengadilan mengabulkan tuntutan dari kreditur, debitur baru dapat dinyatakan wanprestasi. Dalam kasus wanprestasi yang diselesaikan secara perdata, debitur dapat dimintai pertanggungjawaban hukum untuk membayar ganti rugi atas tidak dipenuhinya prestasi tersebut. Namun, perlu diingat bahwa setiap tuntutan termasuk ganti rugi yang diminta harus dituliskan secara lengkap dan jelas dalam surat gugatan.
Semoga penjelasan yang kami berikan dapat memberikan manfaat, apabila masih ada yang kurang jelas silahkan datang langsung menemui kami pada pos pelayanan hukum di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara pada kejaksaan Tinggi Bengkulu, Sekian Terimakasih.
Tanah milik Abdul Hari seluas 4 hekta